Wednesday, February 25, 2015

Dua Pasang Mata Kembar (cerpen)


Di satu hari yang basah, saat itu kamu tengah menonton berita pagi di televisi, sebuah kabar meletupkan kesadaran di kepalamu. Sebenar-benarnya, stempel sakit jiwa di jidat seseorang tidak bermula saat ia menangis dan berteriak histeris, tetapi saat ia mulai terdiam atau terlihat riang. Karena menangis adalah ekor dari pedih. Dan pedih adalah penyambung realita yang tidak dimiliki si gila.
Dering ponselmu yang masih monoponik itulah penyampai kabar yang membuatmu terjaga tentang mereka yang tertuduh sakit jiwa. Kesadaran yang berakar hanya pada pengamatanmu tentu saja. Belum tentu benar karena kamu bukanlah seorang psikiater atau psikolog atau pekerja sosial atau mahasiswa yang mempelajari ketiganya.
Kabar yang satu itu bukan satu-satunya kabar yang akan membuatmu tertegun tentang jiwa-jiwa manusia. Tentu saja hari itu kamu belum tahu. Di satu hari basah yang lain, akan ada satu kabar lagi menghampirimu. Tetang sepasang mata yang serupa matamu. Dan tentang betapa kuatnya sebuah jiwa perempuan bisa menjadi.
***
Dyahlah nama teman kuliahmu yang satu itu. Ia seorang periang yang akan dengan senang hati membantu siapapun. Keriangannya pernah membuatmu menduga ia lahir saat burung-burung berkicau riang di musim semi. Musim yang hanya kamu tahu dari buku-buku karena kamu tidak pernah berada di negara yang memiliki empat musim. Lagipula, hari di rumahmu tak pernah beranjak dari satu musim –basah.
Malam itu kamu pulang terlambat. Begitu membuka pintu, kamu sudah bersiap-siap untuk menerima luapan amarah ibumu yang selalu duduk di kursi rotan yang membuatnya terlihat jauh lebih tua. Selalu, ibumu duduk di sana menunggumu jika pulang malam. Setelah mendengar derit pintu yang menandakan kepulanganmu, ia akan bermonolog mengenai bahaya yang bisa diciptakan oleh tiga hal: malam, jalanan, dan laki-laki hidung belang. Mungkin, jika cerita tentang celana  dalam besi bergembok itu benar, ibumu akan membelinya satu, memasangkannya padamu, dan menyimpan kuncinya di saku baju.
Monolog ibumu tak pernah lebih dari lima menit dengan isi yang itu-itu saja. Tetapi, nada dingin yang keluar dari mulut ibumu sering membuatmu merasa telah menghabiskan puluhan putaran jarum jam dinding tua di atas bufet mahogany.
Setelah bermonolog, ibumu akan berbalik untuk masuk ke kamarnya tanpa memandangmu. Sepanjang ingatan yang lengket melekat di benakmu, ibumu memang tak pernah memandangmu. Ia selalu memalingkan muka saat berpapasan denganmu dan memandang ke arah lain saat berbicara. Mengapa ia tak mau beradu mata denganmu, menjadi pertanyaan yang tak pernah terjawab di daftar panjang pertanyaan yang ingin kamu ajukan padanya tapi tak kunjung juga kamu ajukan.
Satu-satunya pertanyaan yang pernah berani kamu ajukan pada ibumu adalah keberadaan Bapak. Itu pun terjadi saat kamu baru masuk Taman Kanak-Kanak, saat kamu masih belum mengenal kata canggung dan penuh rasa ingin tahu. Ibumu hanya bilang bahwa kamu anak yatim. Kamu kemudian mengajukan pertanyaan serupa pada Kakek, Nenek, Tante, Paman, dan semua yang menyatakan diri sebagai saudara Ibumu. Semua mengamini jawaban Ibumu. Tetapi, setelah kamu tahu bahwa yatim artinya anak yang ditinggal mati Bapak atau Ibunya dan bertanya bagaimana Bapak bisa mati, tidak ada yang bisa menjawab.
Beranjak dewasa, kamu pernah mengira Ibumu membencimu karena ia tak pernah melakukan hal-hal menggelikan seperti yang biasa dilakukan para Ibu pada anak-anaknya, mencium dan memeluk misalnya, atau sekadar bertanya, “Bagaimana sekolahmu?” Tetapi kemudian kamu merasa bersalah telah berpikir begitu karena Ibumu berlaku sama terhadap semua orang, dingin, bicara seperlunya, bukan sejenis manusia penyebar afeksi. Tidak mungkin seseorang bisa membenci seluruh dunia beserta isinya, bukan?
Namun, malam itu, Ibumu lain dari biasanya. Ia tidak duduk di kursi rotannya, melainkan di sofa tua depan televisi. Tangannya mencengkeram erat pinggiran sofa seperti penumpang kapal laut mencengkeran pinggiran geladak saat badai.
Seperti kucing, kamu mengendap menuju kamar yang pintunya berada di belakang sofa tua yang diduduki Ibumu. Suara dari televisi yang tengah menyiarkan berita malam tentang perkosaan teredam begitu kamu menutup pintu kamarmu. Berita perkosaan telah mejadi  sesuatu yang biasa seperti berita naiknya harga cabai dan bawang merah. Kamu tak ambil pusing.
Tapi kemudian kamu menjadi ambil pusing begitu menerima telepon pada pukul tiga malam. Di ujung telepon, Ibu dari temanmu yang bernama Dyah itu menanyakan keberadaan Dyah yang belum juga sampai rumah. Padahal kamu ingat betul, enam jam yang lalu, kalian berdua pulang bersama dari rumah kost temanmu yang lain sehabis menyusun mini research. Kalian berpisah begitu naik bis dengan arah berbeda karena rumah kalian berlawanan arah. Maka di pukul tiga malam itu, kamu tidak bisa memberi jawaban selain ‘tidak tahu’ dan menyimpan gelisah sampai pagi.
Esoknya, Ibumu yang sedang menyiapkan alat untuk merias pengantin memberi monolog lima menitnya yang tidak sempat disampaikan tadi malam. Ia memberi monolog dengan memunggungimu. Dari balik punggunnya kamu dapat melihat ia sedang menjejerkan kuas-kuas beragam ukuran. Hanya dari merias pengantinlah Ibumu yang kurus itu mendapat uang.
Selepas itu, kamu pergi ke kampus seperti biasa. Sesampai di kampus, kamu digegerkan oleh sebuah berita. Dyah ditemukan pingsan di pinggir jalan subuh tadi. Ia diduga menjadi korban perkosaan.
***
Tidak pernah lagi kamu temui Dyah di kampus setelah berita itu kamu dengar. Tapi kamu mulai menjadi serupa kotak surat yang terus-menerus menerima kabar. Kabar bahwa Dyah tidak pernah berhenti menangis, kabar bahwa Dyah tidak mau bertemu dengan siapa pun, dan kabar bahwa pelakunya dihukum kurang dari lima tahun.
Akhirnya, Dyah berhenti menangis di satu pagi. Di pagi ia dikirim ke rumah sakit jiwa setelah membaca sebuah berita. Berita itu tentang seorang orang penting yang berkomentar sembrono tentang hukuman bagi pelaku kejahatan seksual. Katanya, tak perlulah mereka dihukum mati karena kebanyakan yang diperkosa pun sudah tidak perawan. Kurang ajar benar memang. Perkosaan bukanlah perkara perawan atau tidak perawan. Tetapi pemaksaan kehendak. Bagaimana seseorang memaksa memasuki diri orang lain yang tidak ingin dan membuang kotorannya pada orang itu. Jadi wajarlah jika pagi itu Dyah mengamuk. Dan disangka gila. Dan masuk rumah sakit jiwa.
***
Ibumu telah berhenti bermonolog sejak peristiwa Dyah. Itu karena kamu tak pernah lagi pulang malam. Praktis, kamu hampir tak pernah lagi mendengar Ibumu bersuara.
“Mau kemana?” Satu-satunya kalimat yang diucapkan Ibumu pagi itu.
Kamu pun berujar akan menengok Dyah di rumahnya. Semalam kamu mendengar kabar Dyah telah dibawa pulang. Katanya, Dyah sudah tidak pernah lagi menangis apalagi mengamuk histeris. Dyah hanya sering terdiam dan melamun.
Deskripsi itu tidak benar, jika tidak dikatakan salah besar. Dyah menyambutmu dengan sangat riang dan tak bisa berhenti bertanya banyak hal padamu, banyaknya tentang kuliah dan tetek bengek hidup sehari-hari yang ia lewatkan. Kamu sempat bergidik saat Dyah melambaikan tangannya padamu ketika keluar dari pagar rumahnya. Dyah sebenarnya belum boleh pulang dari rumah sakit.
***
Pagi itu pagi yang basah seperti semua hari yang kamu habiskan di rumahmu. Kamu sedang menonton berita pagi yang lebih biasa dari sekadar perkosaan dan kenaikan harga cabai: berita kecelakaan lalu lintas dan tawuran antarpelajar.
Ponselmu yang masih monoponik itu bersuara untuk menyampaikan kabar. Dan di pagi yang basah itu, satu kesadaran meletup di kepalamu. Seseorang sakit jiwa tidak bermula saat ia menangis dan menjerit histeris, tetapi saat ia mulai terdiam atau terlihat riang.
Kabar tentang matinya Dyah yang mendekam di inbox ponselmu itu bukan satu-satunya kabar yang akan menghampirimu tentang beragamnya jiwa-jiwa manusia. Di suatu pagi basah yang lain, satu kabar lain akan langsung mengetuk pintu rumahmu. Tapi pagi itu tentu kamu belum tahu.
Kamu hanya tertegun sejenak. Pikiranmu berjalan menyusuri halaman-halaman Norwegian Wood-nya Murakami. Benakmu terhenti di satu bagian, saat Naoko terlihat begitu normal dan sedikit lebih ceria dari biasanya sebelum kemudian ditemukan gantung diri. Setelahnya, kamu beranjak ke kamar mandi dan mengeluarkan baju hitam terbaikmu dari lemari.
***
Sempat kamu sapa Haji Hasan saat kamu pulang dari kantor pos di Jumat itu. Haji Hasan dengan kepala dipenuhi rambut beruban berjalan dengan menenteng sebuah ban serupa ban dalam kecil. Kamu sudah tahu, jika Haji Hasan berpakaian koko, bersarung, berkopiah, dan membawa ban kecil di hari Jumat, berarti Haji Hasan tidak hendak menjadi Khatib salat Jumat. Haji Hasan menderita ambeien.
Sayangnya, anak-anak yang usil tidak paham menderitanya duduk bagi penderita ambeien. Jadi seringnya mereka, diam-diam atau terang-terangan, menertawakan Haji Hasan saat duduk di atas ban untuk mendengarkan khotbah Jumat dari Khatib yang berdiri di mimbar. Tetapi Haji Hasan tak pernah marah. Ia selalu ramah. Ramah yang membuatmu ingat Dyah.
Jumat ini setahun kematian Dyah. Kamu sudah hampir tak ingat wajahnya, tetapi kenangannya begitu lekat. Biasanya Dyah mengantarmu mengambil wesel di kantor pos tiap tanggal enam, kecuali jika tanggal enam itu hari Minggu atau tanggal merah.
Kiriman wesel itu diawali saat kamu mengangkat telepon rumah saat SMP. Seorang asing, perempuan bersuara ramah yang cocok jadi telemarketer maupun sekretaris, mengatakan sesuatu tentang wesel untukmu. Kamu kira itu ulah orang iseng. Tapi saat kamu pun iseng mengeceknya ke kantor pos, ternyata si penelepon tidak iseng. Wesel itu menjadi rutin datang. Jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun. Kamu sempat mengecek pengirimnya, tetapi yang tertera adalah nama perusahaan yang belum pernah kamu dengar.
Ada yang aneh dengan wesel itu. Ibumu yang tahu kamu mendapat kiriman uang tidak pernah mau menyentuh apapun yang kamu beli dengan uang itu. Tapi ia juga tidak pernah melarangmu untuk menerima dan menggunakannya.
***
Kabar yang dijanjikan akan mengetuk pintu rumahmu tiba hari ini. Kabar itu ditandai jeritan memekakan di pagi hari. Kamu yang tengah membereskan alat rias bertanya-tanya siapa yang berteriak begitu pilu. Dan kamu pun terlonjak begitu menyadari itu suara Ibumu yang sebelumnya beranjak untuk membukakan pintu.
Ternyata tidak ada apa-apa di ruang tamu. Hanya ada ibu yang histeris dan seorang lelaki setengah baya parlente yang bingung. Kamu sempat berpandangan dengan lelaki itu sebelum mendekati Ibumu. Dan pahamlah kamu saat itu. Kamu tahu mengapa Ibumu tak pernah mampu memandangmu. Lelaki itu memiliki sepasang mata yang persis dengan milikmu.
***
Ibumu tahu benar saat mengatakan ada bahaya yang disebabkan oleh tiga hal: malam, jalanan, dan laki-laki hidung belang. Di hari laki-laki parlente itu datang, yang konon untuk meminta pengampunan, kamu tahu darimana wesel-wesel itu berasal. Kamu mengerti mengapa di rumahmu hanya ada satu musim, basah. Basah yang berasal dari kedua mata Ibumu. Tetapi yang paling kamu benar-benar pahami adalah betapa kuatnya jiwa seorang perempuan dapat menjadi. Itu adalah Ibumu. Ia tidak memilih membunuhmu, menjadi gila, atau membunuh dirinya. Tetapi memilih menua seiring bertumbuhnya dirimu.

***

Sunday, February 22, 2015

Kelas Inspirasi: antara Kami dan Mimpi-Mimpi

picture by Attay

Tiada mimpi yang tak beranak tangga, maka bermimpilah tinggi-tinggi.

Pernah saya dengar, salah-satu cara untuk berbahagia adalah menjadi volunteer, karena volunteering adalah salah-satu bentuk kesyukuran. Sedang kesyukuran adalah penyembuh dan pembangkit terbaik. Kala itu, saya yang tengah jenuh dan bosan mendapat informasi dari teman tentang Kelas Inspirasi. Awalnya, sih, ragu. Saya tidak ingin menyesatkan anak-anak polos itu menjadi penulis dengan pendapatan dari royalti yang pasang-surut. Namun, akhirnya, di saat-saat terakhir mendaftar juga. It’s all about passion of life, not how you get a living.

Apa, sih, Kelas Inspirasi itu? Sempat heran sendiri mengapa banyak yang mengajukan pertanyaan ini. Well, here we go. Kelas Inspirasi merupakan program pengembangan dari Indonesia Mengajar. Bedanya, Indonesia Mengajar diprogram untuk satu tahun ditempatkan di daerah terpencil untuk mengajar, benar-benar mengajar mata pelajaran. Sedangkan Kelas Inspirasi adalah program mengajar satu hari ke Sekolah Dasar untuk menerangkan profesi kita, sehingga siswa-siswa SD terbuka wawasannya mengenai profesi yang ada di dunia dan bisa lebih dini mempersiapkan diri.

Pertemuan Pertama: Briefing
Picture by Endang
Kelas Inspirasi yang saya ikuti adalah Kelas Inspirasi Bandung angkatan ke-3. Jumlah peserta yang lolos seleksi (ya, kami diseleksi) sebagai relawan ada sekitar 500 orang. Pertemuan pertama kami diadakan di Gedung Sate. Saat itu, kami dikelompokkan menjadi kelompok-kelompok kecil. Saya masuk ke kelompok 35. Di kelompok 35 ini ada 17 relawan, 4 dokumentator, dan satu pembimbing. Pada akhir Kelas Inspirasi, saya mensyukuri masuknya saya ke kelompok yang agak sengklek ini.

Sebelum terjun ke lapangan di hari H, kami tentu harus mengikuti survey dan membahas jadwal. Jadi kami sempat berkumpul beberapa kali. Dari kumpul-kumpul itulah kami semua menjadi dekat.

picture by Endang
Persiapan Masuk Kelas
Seperti biasa, ditahan-tahan pun, waktu selalu dapat berlalu, effortlessly. Dan hari H datang juga. Hari H adalah hari yang menegangkan. Saya sempat beberapa kali mengajar, tetapi mengajar di kelas dengan materi yang ditentukan tentu saja berbeda dengan menerangkan profesi kita, apalagi profesi abstrak yang tidak mudah dimengerti anak-anak yang memang belum mampu berpikir abstrak. Tapi, akhirnya, semua terselesaikan dengan baik. Dan, yang pasti, anak-anaknya senang dan (mudah-mudahan) terinspirasi.

Saat masuk, saya sadari, betapa tepatnya program ini. Sebelumnya, kebanyakan anak-anak ini ingin menjadi dokter, guru, polisi, tentara, dan profesi yang memang sering mereka lihat dan dengar, walau beberapa sudah ada yang menjawab ingin menjadi pengusaha hotel! Going extra miles banget, ya. Hehe... Namun, di akhir kelas, ada juga yang ingin jadi penulis seperti saya.

O ya, tiap volunteer memiliki gaya, profesi, dan karakter yang unik. Ini saya beri ulasan volunteer lain biar lebih kenal.

1.  Attay
picture by Rima
     Kang Attay ini produser salah satu TV Nasional yang sering ditonton mahasiswa yang senang politik untuk mendapat isu-isu baru. Orangnya, nggak tahu ya, susah ngejelasinnya. Diem, tapi suka nyeletuk, sayang anak, dan eksis!

      2.      Abid

picture by Fei
    Volunteer yang ini berprofesi sebagai Network Engineer. Orangnya kalem, (sepertinya) sholeh, dan sayang orangtua. Sayangnya, karena terlalu kalem dan penyayang sama anak-anak, dia sempat dikerjai jadi satpam oleh anak-anak.

3.      Adee
picture by Rima


Penampilan volunteer yang satu ini kadang menipu. Percayalah, walau beliau selalu pake topi seperti yang sering dipakai sutradara, ia bukanlah sutradara. Ia adalah seorang funding relation. Orangnya santai, misterius, sholat nggak pernah kelewat dan tepat waktu!

4.      Desta
picture by Fei

(Nama sebenarnya adalah ...). (Dan saya baru ngeh ada orang seperti ini di bumi). Baiklah, (Kang) Desta yang rambutnya sering berubah warna ini announcer sekaligus sutradara. Orangnya gak-gak, humoris, dan cerdas. Kecerdasannya kadang membodohi kami. Hebatnya, keluar dari kelas, banyak anak yang ingin jadi seperti Kak Desta.


5.      Eka
picture by Rima


Jika melihat perlengkapannya saat masuk kelas, mungkin kita akan mengira ia seorang petugas PLN. Anda tidak salah, mbak Eka memang bekerja di PLN, tapi bagian pengembangan kompetensi! Orangnya aktif, perfeksonis, talkative, dan suka bayarin angkot kalo jalan bareng (makasih mbak eka :D).

6.      Endah
picture by Rima


Kak Endah ini asisten manager quality control. Orangnya baik, cantik, lembut, keibuan, modis, dan Hi-Tech. Pokoknya, saya senang kalau ngedengerin Kak Endah bicara sama anak-anak. Saya juga seneng liat gesture-nya.

7.      Icha
picture by Rima


Saya bingung untuk menjelaskan perempuan ini. Ia pendiam, tapi supel. Senengnya karoke. Dia juga sholehan. Dan tangguh. Juga menyenangkan. Anggun juga. Pokoknya bingung ngejelasinnya. Icha yang berprofesi sebagai admin ini memiliki sifat-sifat yang bertentangan tapi saling melengkapi dan membentuk kesatuan yang cantik.

8.      Inong
picture by Endang
     Bukan nama sebenarnya. Dimana ada Inong, di sana ada Aki Bereum (mobilnya). Sering banget saya tebengin. Profesinya adalah artwork interior design (udah bener nulisnya kan Nong? hehe). Orangnya boyish, kadang kekanakan, mandiri, pinter, dan senang menolong.


9.      Lukman
picture by Rima


Melihat dirinya, Anda tidak akan merasa heran jika saya bilang dia adalah juragan burger. Memang dia CEO dan owner dari sebuah brand burger. Sialnya, saat masuk kelas membawa koran, dia disangka tukang koran oleh anak-anak. Yah, walaupun begitu, kalau sudah mendengarnya bicara, Lukman ini berwibawa dan luas pengetahuannya. Kalo nggak gitu, mana bisa jadi CEO sekaligus owner ya, Lukman?


10.  Rubby
picture by Rima

Rubby ini profesinya sebagai fasilitator sebuah program di Bandung. Jangan tanya, karena saya juga tidak mengerti pekerjaannya. Hehe. Tapi Rubby ini orangnya ramah dan santun.

11.  Rudi
picture by Rima

     Pertama kali bertemu Kang Rudi, semua orang pasti sepakat dengan kata ini –dingin. Iya juga sih. Tapi kadang celetukkannya lebih gak-gak dari Desta. Kang Rudi  berprofesi sebagai supervisor penjualan. Dia orangnya kalem, bertanggung-jawab (harus, karena dia ketua kelompok kami), well-groom, dan persuasif.

12.  Syafrieda
picture by Fei
     Ibu Hamil yang cantik ini seorang Guru Biola. Orangnya ramah, ceria, dan asik banget. Nggak akan mungkin nggak ketawa deh kalo ketemu Teh Ida. Eh, tapi kalo udah mengeluarkan biolanya, Teh Ida ini bisa bikin satu kelas nangis saat denger lagu Bunda saking harunya (ketahuan, kami semua anak penuh dosa pada orangtua).

13.  Syarifah
picture by Rima
     Teteh ini pimpinan dari sebuah lembaga bimbingan belajar private di Bandung. Orangnya super sibuk, mandiri, dan sangat bersungguh-sungguh dengan usahanya.

14.  Endang
picture by Rima


Dokumentator. Hampir nggak ada fotonya (nasib dokumentator ya Ka Endang K). Dari instagramnya, saya lihat ia senang keliling Indonesia. Ka Endang ini terbuka untuk sharing dan suka becanda juga. Satu lagi, senang menolong walaupun nggak diminta, makasihhh...

15.  Ozi
picture by Rima

Salah-satu orang yang hampir nggak ada fotonya. Ya, dia dokumentator juga. Selain dokumentator, Ozi ini seorang travel guide.

16.  Rima
picture by Fei


Lembut. Sumringah. Tidak sulit untuk disayangi.

Pokoknya, ini orang yang akan paling saya kangenin. Kalau Allah mau ngasih saya adik perempuan, Rima bolehlah jadi adik saya. Mau kan, Rim? Hehehe... 
P.S. dia fotografer sekaligus mahasiswa yang foto-fotonya udah sering menang event, loh.

17.  Fei
picture by Rima


Beliau adalah pendamping kami. Dan sungguh, sampai akhir event pun saya tidak tahu nama aslinya!

Kang Fei ini seorang pemilik resto di daerah Jatinangor dan sangat bertanggung-jawab terhadap kelompok kami.

Tulisan ini panjang, ya. Pasti lelah bacanya.
Pokoknya, dengan ikut Kelas Inspirasi, selain bisa membuka wawasan anak-anak, kita pun dapat menambah pertemanan dan wawasan baru. Dunia ini tidak sempit, tetapi jejaring kita yang meluas. Tapi tetap, satu yang pasti, tujuan kami tetap satu, membuka wawasan anak-anak terhadap profesi yang ada di dunia ini, sehingga mereka memiliki peluang untuk menjadi orang dewasa yang melakukan hal yang mereka sukai dan berkontribusi bagi sesama.

Kami di Gedung KAA
picture by Endang

Pada akhirnya, benarlah entah kata siapa itu, volunteering itu seperti maaf. Volunteering sesungguhnya bukan hadiah yang kita beri pada orang lain, tetapi hadiah yang kita beri pada diri sendiri.

Kelas Inspirasi K35 Masuk Halaman Pertama Pikiran Rakyat
picture by Reni

Salam dari kami, Kelompok 35. Sampai jumpa di Kelas Inspirasi 4. Sekian.

Tuesday, February 3, 2015

Sihir Waktu

picture taken from www.edudemic.com
Waktu adalah perihal yang teramat ganjil. Ia dapat memanjang dan memendek secara bersamaan. Hebatnya, ia dapat membuat sejuta tahun lalu, saat manusia berkromosom xy itu mengemasi hatinya, menjadi tak berjeda dengan detik ini. Lebih hebat lagi, di saat itu pula, ia mampu menyulap malam menjadi begitu panjang. Bagaimana mungkin ada malam yang begitu panjang dalam sesuatu yang tak berjeda?
Kurasa, waktu mencuri ingatan untuk memantrai malam. Saat ingatan begitu pekat dan malam menjadi tak hingga alotnya, saat itulah waktu menyebar mantra. Maka kurapal ingatan-ingatan lain serupa penolak bala. Dia telah berbahagia, sebagai ganti atas pertukaran yang diam-diam kubuat dengan Tuhan. Setelahnya, seperti biasa, aku menjadi orang yang kubenci –peratap.
Tuhan, telah kutanggalkan segalanya, segalanya, segalanya, untuk kembali padaMu. Segalanya, termasuk dia, untuk kembali kepadaMu. Tidakkah Engkau rindu untuk sekadar memelukku?
Baiklah, Tuhan, kutahu, Kau tengah memintaku bersabar.

Dan begitulah Puteri Bulan menutup catatan kunjungannya ke bumi di hari sedini ini.
#carikan

Ditulis oleh Wulan Dewatra | 21 Januari 2015