Tuesday, February 11, 2014

Review Novel Semusim, dan Semusim Lagi


Pernah tidak jatuh cinta pada sebuah tulisan begitu dalam? Itulah yang saya rasakan pada novel ini. Sebenarnya, ada banyak faktor yang membuat sebuah tulisan begitu melekat pada diri seseorang. Untuk saya, cara bercerita adalah hal yang paling mendasar yang dapat membuat saya jatuh cinta pada sebuah tulisan. Memang, ada banyak kriteria ‘baku’ untuk menentukan bagus tidaknya sebuah tulisan, tetapi untuk disukai, selera pembaca pun mengambil peranan besar.

Awalnya saya tertarik membaca novel ini saat menghadiri undangan dari Yayasan Lontar. Saat itu Andina Dwifatma, penulis novel ini, memperkenalkan diri dan karyanya yang berjudul Semusim, dan Semusim Lagi. Bagi saya, judul tersebut sangat menarik, jadi saya mulai melihat reviewnya di Goodreads. Reviewnya beragam, ada yang bagus ada juga yang ngga. Wajarlah. O ya, Semusim, dan Semusim Lagi merupakan pemenang Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012. Label tersebut tentunya menjadi salah satu daya tarik yang membuat saya memutuskan membeli novel ini.

Judul                  : Semusim, dan Semusim Lagi
Penulis               : Andina Dwifatma
Penerbit             : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit        : 2013
Tebal Buku         : 232 hal.
Novel Semusim, dan Semusim Lagi dituturkan melalui sudut pandang tokoh utama. Tokoh utama ini memanggil dirinya ‘aku’ layaknya novel dengan sudut pandang orang pertama tunggal lainnya, hanya saja sampai akhir pun kita tidak akan pernah tahu siapakah nama dari ‘aku’ ini. Penulis tidak sekali pun menyebutkan nama si tokoh utama. Saya tidak mengerti tujuannya apa, tetapi ini cukup menarik. Lagipula, dengan cara demikian, kita dapat lebih merasakan dunia tokoh utama tanpa ‘gangguan’ dari pandangan tokoh lain. Jika pun ada maka pikiran dari tokoh lain tersebut disampaikan dengan cara ditampilkan melalui pemiikiran tokoh ‘aku’.
Tokoh ‘aku’ merupakan seorang perempuan remaja yang baru saja lulus SMA dan bercita-cita menjadi seorang ahli sejarah. Pada suatu hari, ia mendapat surat dari sahabat ayahnya, J.J. Henry, yang mengabarkan bahwa ayahnya sakit parah. Seumur hidup, tokoh ini belum pernah mengenal ayahnya. Selama ini tokoh ‘aku’ hanya hidup berdua dengan ibunya yang sangat dingin dan kaku. Akhirnya tokoh ‘aku’ memutuskan untuk pergi ke Kota ‘S’ untuk menemui ayahnya, tetapi karena ayahnya sakit begitu parah, mereka tidak bisa bertemu. Ia hanya bisa tinggal di rumah ayahnya di Kota ‘S’ sampai kondisi ayahnya membaik tanpa bisa menemuinya di rumah sakit. Ini yang membuat saya sedikit bingung. Sesakit apa seseorang sampai ia tidak dapat dijenguk? Mengapa J.J. Henry dapat menjenguk tapi ia tidak?
Dalam penantian untuk dapat bertemu ayahnya ini, tokoh ‘aku’ bertemu dan jatuh cinta pada Muara, putra J.J. Henry. Konflik mulai bermunculan sampai akhirnya tokoh ‘aku’ mencoba membunuh Muara dengan bantuan Sobron, seekor ikan mas koki. Itu saja mengenai ceritanya, kalau diteruskan nanti saya jadi spoiler :P

Kisah dalam novel ini diceritakan dengan cerdas. Cerdas di sini bukan berarti mengandung banyak kosakata yang sulit dimengerti, tetapi saat membacanya kita tidak merasa ‘kosong’. Kekurangannya, di sini banyak sekali keterangan kutipan yang mengganggu kenyamanan membaca. Padahal informasi kutipan tersebut bisa saja ditulis di catatan kaki.

Mengenai cara bercerita, saya sependapat dengan komentar dewan juri bahwa novel ini diceritakan dengan mencekam. Saat membaca novel ini, kita disuguhi sebuah cerita yang gelap dan cenderung dingin. Cara penceritaan tersebut mendukung karakter tokoh ‘aku’ yang memang diceritakan bersikap tertutup. Salah satu contoh peristiwa yang menunjukkan dinginnya tokoh aku adalah saat ibu si tokoh tiba-tiba berteriak-teriak seperti kerasukan, tokoh aku hanya berdiri dan menggaruk kakinya yang gatal dengan kaki yang lain. Namun di sisi lain, penulis pun tidak melupakan sisi kemanusiaan dari tokoh utama, misal dari peristiwa saat tokoh ‘aku’ memutuskan untuk tidak jadi pergi ke kota ‘S’ karena melihat ibunya dalam keadaan demikian kacau. Cara bercerita Andina Dwifatma yang dingin, tak berperasaan, tetapi tidak menghilangkan sifat alami manusia ini mengingatkan saya pada tulisan Gregory Hill, East of Denver, yang merupakan penulis favorit saya.

Sayangnya, gaya bercerita yang mencekam dan cerita yang dingin ini tidak didukung oleh cover. Cover novel ini putih dengan gambar semacam kartun seekor ikan sedang duduk di bangku taman. Cover jenis ini juga digunakan GPU untuk novel-novel ‘amore’, yang tentu saja memiliki nuansa berbeda.
Di belakang cover, disertakan sebuah puisi dari Sitor Situmorang yang memuat sepenggal kalimat “Semusim dan Semusim Lagi”. Walau demikian, novel ini tidak diceritakan dengan gaya puitis, tetapi saya bisa menemukan banyak kutipan menarik dengan penuturan beragam. Dari novel ini, saya paling suka dua kutipan berikut:
Kutipan 1
Tentu saja bertahun-tahun kemudian aku tahu itu semua bohong belaka. Tidak semua jenderal adalah pahlawan, dan tidak semua pemberontak adalah penjahat berbahaya. PSPB adalah alat penguasa untuk mendisipliknkan otak-otak muda kami sejak dini. (p.12)
Kutipan 2
“Kedua, panggil aku ayah.”
Aku membeo Joe. Ayah. Akhirnya kuucapkan juga kata itu. Sesuatu dalam dadaku mencair seperti kepingan salju yang terpapar matahari ............ Aku merasa semusim paling berat dalam hidupku telah terlewati, dan aku siap untuk musim selanjutnya. Lalu mungkin semusim, dan semusim lagi... (p.230)
Kutipan terakhir cukup merangkum pesan moral yang ingin disampaikan penulis. Saya jadi sangat menyadari satu hal:

Seluruh kebahagiaan akan kembali pada hal yang paling sederhana, yaitu keluarga dan orang-orang yang mengasihi. Tetapi terkadang hal sederhana tersebutlah yang paling sulit untuk digapai. Sehingga kita harus mensyukuri jika saat ini kita berada di tengah-tengah orang yang mencintai diri kita. Selain itu, walaupun ditulis dengan dingin, tapi buku ini berhasil membuat saya bersemangat bahwa satu musim yang berat di hidup kita pasti akan berlalu dan berganti dengan musim yang baru.

Secara keseluruhan, saya benar-benar menyukai buku ini. 4.5 dari 5 bintang untuk Semusim, dan Semusim Lagi