Wednesday, February 25, 2015

Dua Pasang Mata Kembar (cerpen)


Di satu hari yang basah, saat itu kamu tengah menonton berita pagi di televisi, sebuah kabar meletupkan kesadaran di kepalamu. Sebenar-benarnya, stempel sakit jiwa di jidat seseorang tidak bermula saat ia menangis dan berteriak histeris, tetapi saat ia mulai terdiam atau terlihat riang. Karena menangis adalah ekor dari pedih. Dan pedih adalah penyambung realita yang tidak dimiliki si gila.
Dering ponselmu yang masih monoponik itulah penyampai kabar yang membuatmu terjaga tentang mereka yang tertuduh sakit jiwa. Kesadaran yang berakar hanya pada pengamatanmu tentu saja. Belum tentu benar karena kamu bukanlah seorang psikiater atau psikolog atau pekerja sosial atau mahasiswa yang mempelajari ketiganya.
Kabar yang satu itu bukan satu-satunya kabar yang akan membuatmu tertegun tentang jiwa-jiwa manusia. Tentu saja hari itu kamu belum tahu. Di satu hari basah yang lain, akan ada satu kabar lagi menghampirimu. Tetang sepasang mata yang serupa matamu. Dan tentang betapa kuatnya sebuah jiwa perempuan bisa menjadi.
***
Dyahlah nama teman kuliahmu yang satu itu. Ia seorang periang yang akan dengan senang hati membantu siapapun. Keriangannya pernah membuatmu menduga ia lahir saat burung-burung berkicau riang di musim semi. Musim yang hanya kamu tahu dari buku-buku karena kamu tidak pernah berada di negara yang memiliki empat musim. Lagipula, hari di rumahmu tak pernah beranjak dari satu musim –basah.
Malam itu kamu pulang terlambat. Begitu membuka pintu, kamu sudah bersiap-siap untuk menerima luapan amarah ibumu yang selalu duduk di kursi rotan yang membuatnya terlihat jauh lebih tua. Selalu, ibumu duduk di sana menunggumu jika pulang malam. Setelah mendengar derit pintu yang menandakan kepulanganmu, ia akan bermonolog mengenai bahaya yang bisa diciptakan oleh tiga hal: malam, jalanan, dan laki-laki hidung belang. Mungkin, jika cerita tentang celana  dalam besi bergembok itu benar, ibumu akan membelinya satu, memasangkannya padamu, dan menyimpan kuncinya di saku baju.
Monolog ibumu tak pernah lebih dari lima menit dengan isi yang itu-itu saja. Tetapi, nada dingin yang keluar dari mulut ibumu sering membuatmu merasa telah menghabiskan puluhan putaran jarum jam dinding tua di atas bufet mahogany.
Setelah bermonolog, ibumu akan berbalik untuk masuk ke kamarnya tanpa memandangmu. Sepanjang ingatan yang lengket melekat di benakmu, ibumu memang tak pernah memandangmu. Ia selalu memalingkan muka saat berpapasan denganmu dan memandang ke arah lain saat berbicara. Mengapa ia tak mau beradu mata denganmu, menjadi pertanyaan yang tak pernah terjawab di daftar panjang pertanyaan yang ingin kamu ajukan padanya tapi tak kunjung juga kamu ajukan.
Satu-satunya pertanyaan yang pernah berani kamu ajukan pada ibumu adalah keberadaan Bapak. Itu pun terjadi saat kamu baru masuk Taman Kanak-Kanak, saat kamu masih belum mengenal kata canggung dan penuh rasa ingin tahu. Ibumu hanya bilang bahwa kamu anak yatim. Kamu kemudian mengajukan pertanyaan serupa pada Kakek, Nenek, Tante, Paman, dan semua yang menyatakan diri sebagai saudara Ibumu. Semua mengamini jawaban Ibumu. Tetapi, setelah kamu tahu bahwa yatim artinya anak yang ditinggal mati Bapak atau Ibunya dan bertanya bagaimana Bapak bisa mati, tidak ada yang bisa menjawab.
Beranjak dewasa, kamu pernah mengira Ibumu membencimu karena ia tak pernah melakukan hal-hal menggelikan seperti yang biasa dilakukan para Ibu pada anak-anaknya, mencium dan memeluk misalnya, atau sekadar bertanya, “Bagaimana sekolahmu?” Tetapi kemudian kamu merasa bersalah telah berpikir begitu karena Ibumu berlaku sama terhadap semua orang, dingin, bicara seperlunya, bukan sejenis manusia penyebar afeksi. Tidak mungkin seseorang bisa membenci seluruh dunia beserta isinya, bukan?
Namun, malam itu, Ibumu lain dari biasanya. Ia tidak duduk di kursi rotannya, melainkan di sofa tua depan televisi. Tangannya mencengkeram erat pinggiran sofa seperti penumpang kapal laut mencengkeran pinggiran geladak saat badai.
Seperti kucing, kamu mengendap menuju kamar yang pintunya berada di belakang sofa tua yang diduduki Ibumu. Suara dari televisi yang tengah menyiarkan berita malam tentang perkosaan teredam begitu kamu menutup pintu kamarmu. Berita perkosaan telah mejadi  sesuatu yang biasa seperti berita naiknya harga cabai dan bawang merah. Kamu tak ambil pusing.
Tapi kemudian kamu menjadi ambil pusing begitu menerima telepon pada pukul tiga malam. Di ujung telepon, Ibu dari temanmu yang bernama Dyah itu menanyakan keberadaan Dyah yang belum juga sampai rumah. Padahal kamu ingat betul, enam jam yang lalu, kalian berdua pulang bersama dari rumah kost temanmu yang lain sehabis menyusun mini research. Kalian berpisah begitu naik bis dengan arah berbeda karena rumah kalian berlawanan arah. Maka di pukul tiga malam itu, kamu tidak bisa memberi jawaban selain ‘tidak tahu’ dan menyimpan gelisah sampai pagi.
Esoknya, Ibumu yang sedang menyiapkan alat untuk merias pengantin memberi monolog lima menitnya yang tidak sempat disampaikan tadi malam. Ia memberi monolog dengan memunggungimu. Dari balik punggunnya kamu dapat melihat ia sedang menjejerkan kuas-kuas beragam ukuran. Hanya dari merias pengantinlah Ibumu yang kurus itu mendapat uang.
Selepas itu, kamu pergi ke kampus seperti biasa. Sesampai di kampus, kamu digegerkan oleh sebuah berita. Dyah ditemukan pingsan di pinggir jalan subuh tadi. Ia diduga menjadi korban perkosaan.
***
Tidak pernah lagi kamu temui Dyah di kampus setelah berita itu kamu dengar. Tapi kamu mulai menjadi serupa kotak surat yang terus-menerus menerima kabar. Kabar bahwa Dyah tidak pernah berhenti menangis, kabar bahwa Dyah tidak mau bertemu dengan siapa pun, dan kabar bahwa pelakunya dihukum kurang dari lima tahun.
Akhirnya, Dyah berhenti menangis di satu pagi. Di pagi ia dikirim ke rumah sakit jiwa setelah membaca sebuah berita. Berita itu tentang seorang orang penting yang berkomentar sembrono tentang hukuman bagi pelaku kejahatan seksual. Katanya, tak perlulah mereka dihukum mati karena kebanyakan yang diperkosa pun sudah tidak perawan. Kurang ajar benar memang. Perkosaan bukanlah perkara perawan atau tidak perawan. Tetapi pemaksaan kehendak. Bagaimana seseorang memaksa memasuki diri orang lain yang tidak ingin dan membuang kotorannya pada orang itu. Jadi wajarlah jika pagi itu Dyah mengamuk. Dan disangka gila. Dan masuk rumah sakit jiwa.
***
Ibumu telah berhenti bermonolog sejak peristiwa Dyah. Itu karena kamu tak pernah lagi pulang malam. Praktis, kamu hampir tak pernah lagi mendengar Ibumu bersuara.
“Mau kemana?” Satu-satunya kalimat yang diucapkan Ibumu pagi itu.
Kamu pun berujar akan menengok Dyah di rumahnya. Semalam kamu mendengar kabar Dyah telah dibawa pulang. Katanya, Dyah sudah tidak pernah lagi menangis apalagi mengamuk histeris. Dyah hanya sering terdiam dan melamun.
Deskripsi itu tidak benar, jika tidak dikatakan salah besar. Dyah menyambutmu dengan sangat riang dan tak bisa berhenti bertanya banyak hal padamu, banyaknya tentang kuliah dan tetek bengek hidup sehari-hari yang ia lewatkan. Kamu sempat bergidik saat Dyah melambaikan tangannya padamu ketika keluar dari pagar rumahnya. Dyah sebenarnya belum boleh pulang dari rumah sakit.
***
Pagi itu pagi yang basah seperti semua hari yang kamu habiskan di rumahmu. Kamu sedang menonton berita pagi yang lebih biasa dari sekadar perkosaan dan kenaikan harga cabai: berita kecelakaan lalu lintas dan tawuran antarpelajar.
Ponselmu yang masih monoponik itu bersuara untuk menyampaikan kabar. Dan di pagi yang basah itu, satu kesadaran meletup di kepalamu. Seseorang sakit jiwa tidak bermula saat ia menangis dan menjerit histeris, tetapi saat ia mulai terdiam atau terlihat riang.
Kabar tentang matinya Dyah yang mendekam di inbox ponselmu itu bukan satu-satunya kabar yang akan menghampirimu tentang beragamnya jiwa-jiwa manusia. Di suatu pagi basah yang lain, satu kabar lain akan langsung mengetuk pintu rumahmu. Tapi pagi itu tentu kamu belum tahu.
Kamu hanya tertegun sejenak. Pikiranmu berjalan menyusuri halaman-halaman Norwegian Wood-nya Murakami. Benakmu terhenti di satu bagian, saat Naoko terlihat begitu normal dan sedikit lebih ceria dari biasanya sebelum kemudian ditemukan gantung diri. Setelahnya, kamu beranjak ke kamar mandi dan mengeluarkan baju hitam terbaikmu dari lemari.
***
Sempat kamu sapa Haji Hasan saat kamu pulang dari kantor pos di Jumat itu. Haji Hasan dengan kepala dipenuhi rambut beruban berjalan dengan menenteng sebuah ban serupa ban dalam kecil. Kamu sudah tahu, jika Haji Hasan berpakaian koko, bersarung, berkopiah, dan membawa ban kecil di hari Jumat, berarti Haji Hasan tidak hendak menjadi Khatib salat Jumat. Haji Hasan menderita ambeien.
Sayangnya, anak-anak yang usil tidak paham menderitanya duduk bagi penderita ambeien. Jadi seringnya mereka, diam-diam atau terang-terangan, menertawakan Haji Hasan saat duduk di atas ban untuk mendengarkan khotbah Jumat dari Khatib yang berdiri di mimbar. Tetapi Haji Hasan tak pernah marah. Ia selalu ramah. Ramah yang membuatmu ingat Dyah.
Jumat ini setahun kematian Dyah. Kamu sudah hampir tak ingat wajahnya, tetapi kenangannya begitu lekat. Biasanya Dyah mengantarmu mengambil wesel di kantor pos tiap tanggal enam, kecuali jika tanggal enam itu hari Minggu atau tanggal merah.
Kiriman wesel itu diawali saat kamu mengangkat telepon rumah saat SMP. Seorang asing, perempuan bersuara ramah yang cocok jadi telemarketer maupun sekretaris, mengatakan sesuatu tentang wesel untukmu. Kamu kira itu ulah orang iseng. Tapi saat kamu pun iseng mengeceknya ke kantor pos, ternyata si penelepon tidak iseng. Wesel itu menjadi rutin datang. Jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun. Kamu sempat mengecek pengirimnya, tetapi yang tertera adalah nama perusahaan yang belum pernah kamu dengar.
Ada yang aneh dengan wesel itu. Ibumu yang tahu kamu mendapat kiriman uang tidak pernah mau menyentuh apapun yang kamu beli dengan uang itu. Tapi ia juga tidak pernah melarangmu untuk menerima dan menggunakannya.
***
Kabar yang dijanjikan akan mengetuk pintu rumahmu tiba hari ini. Kabar itu ditandai jeritan memekakan di pagi hari. Kamu yang tengah membereskan alat rias bertanya-tanya siapa yang berteriak begitu pilu. Dan kamu pun terlonjak begitu menyadari itu suara Ibumu yang sebelumnya beranjak untuk membukakan pintu.
Ternyata tidak ada apa-apa di ruang tamu. Hanya ada ibu yang histeris dan seorang lelaki setengah baya parlente yang bingung. Kamu sempat berpandangan dengan lelaki itu sebelum mendekati Ibumu. Dan pahamlah kamu saat itu. Kamu tahu mengapa Ibumu tak pernah mampu memandangmu. Lelaki itu memiliki sepasang mata yang persis dengan milikmu.
***
Ibumu tahu benar saat mengatakan ada bahaya yang disebabkan oleh tiga hal: malam, jalanan, dan laki-laki hidung belang. Di hari laki-laki parlente itu datang, yang konon untuk meminta pengampunan, kamu tahu darimana wesel-wesel itu berasal. Kamu mengerti mengapa di rumahmu hanya ada satu musim, basah. Basah yang berasal dari kedua mata Ibumu. Tetapi yang paling kamu benar-benar pahami adalah betapa kuatnya jiwa seorang perempuan dapat menjadi. Itu adalah Ibumu. Ia tidak memilih membunuhmu, menjadi gila, atau membunuh dirinya. Tetapi memilih menua seiring bertumbuhnya dirimu.

***

3 comments:

smellycat said...

Suka banget sama gaya penyampaiannya.

Wulandari Putri said...

Terima kasih, Mediana. Senang kamu suka ^^

Unknown said...

Sedih :" tapi sukaa... :)