Pernah tidak jatuh cinta pada
sebuah tulisan begitu dalam? Itulah yang saya rasakan pada novel ini.
Sebenarnya, ada banyak faktor yang membuat sebuah tulisan begitu melekat pada
diri seseorang. Untuk saya, cara bercerita adalah hal yang paling mendasar yang
dapat membuat saya jatuh cinta pada sebuah tulisan. Memang, ada banyak kriteria
‘baku’ untuk menentukan bagus tidaknya sebuah tulisan, tetapi untuk disukai,
selera pembaca pun mengambil peranan besar.
Awalnya saya tertarik membaca novel ini saat menghadiri undangan dari
Yayasan Lontar. Saat itu Andina Dwifatma, penulis novel ini, memperkenalkan
diri dan karyanya yang berjudul Semusim,
dan Semusim Lagi. Bagi saya, judul tersebut sangat menarik, jadi saya mulai
melihat reviewnya di Goodreads. Reviewnya beragam, ada yang bagus ada juga yang
ngga. Wajarlah. O ya, Semusim, dan
Semusim Lagi merupakan pemenang Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian
Jakarta 2012. Label tersebut tentunya menjadi salah satu daya tarik yang
membuat saya memutuskan membeli novel ini.
Judul :
Semusim, dan Semusim Lagi
Penulis : Andina
Dwifatma
Penerbit : Gramedia
Pustaka Utama
Tahun terbit : 2013
Tebal Buku : 232 hal.
Novel Semusim, dan Semusim Lagi dituturkan melalui sudut pandang tokoh utama. Tokoh utama ini memanggil dirinya ‘aku’ layaknya novel dengan sudut pandang orang pertama tunggal lainnya, hanya saja sampai akhir pun kita tidak akan pernah tahu siapakah nama dari ‘aku’ ini. Penulis tidak sekali pun menyebutkan nama si tokoh utama. Saya tidak mengerti tujuannya apa, tetapi ini cukup menarik. Lagipula, dengan cara demikian, kita dapat lebih merasakan dunia tokoh utama tanpa ‘gangguan’ dari pandangan tokoh lain. Jika pun ada maka pikiran dari tokoh lain tersebut disampaikan dengan cara ditampilkan melalui pemiikiran tokoh ‘aku’.
Novel Semusim, dan Semusim Lagi dituturkan melalui sudut pandang tokoh utama. Tokoh utama ini memanggil dirinya ‘aku’ layaknya novel dengan sudut pandang orang pertama tunggal lainnya, hanya saja sampai akhir pun kita tidak akan pernah tahu siapakah nama dari ‘aku’ ini. Penulis tidak sekali pun menyebutkan nama si tokoh utama. Saya tidak mengerti tujuannya apa, tetapi ini cukup menarik. Lagipula, dengan cara demikian, kita dapat lebih merasakan dunia tokoh utama tanpa ‘gangguan’ dari pandangan tokoh lain. Jika pun ada maka pikiran dari tokoh lain tersebut disampaikan dengan cara ditampilkan melalui pemiikiran tokoh ‘aku’.
Tokoh ‘aku’
merupakan seorang perempuan remaja yang baru saja lulus SMA dan bercita-cita
menjadi seorang ahli sejarah. Pada suatu hari, ia mendapat surat dari sahabat
ayahnya, J.J. Henry, yang mengabarkan bahwa ayahnya sakit parah. Seumur hidup,
tokoh ini belum pernah mengenal ayahnya. Selama ini tokoh ‘aku’ hanya hidup
berdua dengan ibunya yang sangat dingin dan kaku. Akhirnya tokoh ‘aku’
memutuskan untuk pergi ke Kota ‘S’ untuk menemui ayahnya, tetapi karena ayahnya
sakit begitu parah, mereka tidak bisa bertemu. Ia hanya bisa tinggal di rumah
ayahnya di Kota ‘S’ sampai kondisi ayahnya membaik tanpa bisa menemuinya di
rumah sakit. Ini yang membuat saya sedikit bingung. Sesakit apa seseorang
sampai ia tidak dapat dijenguk? Mengapa J.J. Henry dapat menjenguk tapi ia
tidak?
Dalam penantian
untuk dapat bertemu ayahnya ini, tokoh ‘aku’ bertemu dan jatuh cinta pada
Muara, putra J.J. Henry. Konflik mulai bermunculan sampai akhirnya tokoh ‘aku’
mencoba membunuh Muara dengan bantuan Sobron, seekor ikan mas koki. Itu saja
mengenai ceritanya, kalau diteruskan nanti saya jadi spoiler :P
Kisah dalam novel ini diceritakan
dengan cerdas. Cerdas di sini bukan berarti mengandung banyak kosakata yang
sulit dimengerti, tetapi saat membacanya kita tidak merasa ‘kosong’.
Kekurangannya, di sini banyak sekali keterangan kutipan yang mengganggu
kenyamanan membaca. Padahal informasi kutipan tersebut bisa saja ditulis di
catatan kaki.
Mengenai cara bercerita, saya
sependapat dengan komentar dewan juri bahwa novel ini diceritakan dengan
mencekam. Saat membaca novel ini, kita disuguhi sebuah cerita yang gelap dan
cenderung dingin. Cara penceritaan tersebut mendukung karakter tokoh ‘aku’ yang
memang diceritakan bersikap tertutup. Salah satu contoh peristiwa yang
menunjukkan dinginnya tokoh aku adalah saat ibu si tokoh tiba-tiba berteriak-teriak
seperti kerasukan, tokoh aku hanya berdiri dan menggaruk kakinya yang gatal
dengan kaki yang lain. Namun di sisi lain, penulis pun tidak melupakan sisi
kemanusiaan dari tokoh utama, misal dari peristiwa saat tokoh ‘aku’ memutuskan
untuk tidak jadi pergi ke kota ‘S’ karena melihat ibunya dalam keadaan demikian
kacau. Cara bercerita Andina Dwifatma yang dingin, tak berperasaan, tetapi
tidak menghilangkan sifat alami manusia ini mengingatkan saya pada tulisan
Gregory Hill, East of Denver, yang merupakan penulis favorit saya.
Sayangnya, gaya bercerita yang
mencekam dan cerita yang dingin ini tidak didukung oleh cover. Cover novel ini
putih dengan gambar semacam kartun seekor ikan sedang duduk di bangku taman.
Cover jenis ini juga digunakan GPU untuk novel-novel ‘amore’, yang tentu saja memiliki
nuansa berbeda.
Di belakang cover, disertakan
sebuah puisi dari Sitor Situmorang yang memuat sepenggal kalimat “Semusim dan
Semusim Lagi”. Walau demikian, novel ini tidak diceritakan dengan gaya puitis,
tetapi saya bisa menemukan banyak kutipan menarik dengan penuturan beragam. Dari
novel ini, saya paling suka dua kutipan berikut:
Kutipan 1
Tentu saja bertahun-tahun kemudian aku tahu
itu semua bohong belaka. Tidak semua jenderal adalah pahlawan, dan tidak semua
pemberontak adalah penjahat berbahaya. PSPB adalah alat penguasa untuk
mendisipliknkan otak-otak muda kami sejak dini. (p.12)
Kutipan 2
“Kedua, panggil aku ayah.”
Aku membeo Joe. Ayah.
Akhirnya kuucapkan juga kata itu. Sesuatu dalam dadaku mencair seperti kepingan
salju yang terpapar matahari ............ Aku merasa semusim paling berat dalam
hidupku telah terlewati, dan aku siap untuk musim selanjutnya. Lalu mungkin
semusim, dan semusim lagi... (p.230)
Kutipan terakhir cukup merangkum pesan
moral yang ingin disampaikan penulis. Saya jadi sangat menyadari satu hal:
Seluruh
kebahagiaan akan kembali pada hal yang paling sederhana, yaitu keluarga dan
orang-orang yang mengasihi. Tetapi terkadang hal sederhana tersebutlah yang
paling sulit untuk digapai. Sehingga kita harus mensyukuri jika saat ini kita
berada di tengah-tengah orang yang mencintai diri kita. Selain itu, walaupun
ditulis dengan dingin, tapi buku ini berhasil membuat saya bersemangat bahwa
satu musim yang berat di hidup kita pasti akan berlalu dan berganti dengan
musim yang baru.
Secara keseluruhan, saya
benar-benar menyukai buku ini. 4.5 dari 5 bintang untuk Semusim, dan Semusim Lagi.
No comments:
Post a Comment