Sunday, April 20, 2014

Sayap


Jemariku yang panjang, kurus, dan pucat menyentuh tirai putih panjang, kumal, dan berdebu. Mungkin sejak pertama kali terpasang, tirai tersebut tak pernah dicuci apalagi dikelantang. Dengan kasar, ku sibakan tirai kumal itu, membebaskan cahaya matahari dan debu dari dekapnya. Mataku mengerjap. Hampir setahun aku tak bercengkrama dengan cahaya.
Setelah mulai terbiasa dengan cahaya matahari, aku mencengkram teralis yang membatasiku dengan jendela. Entah sudah berapa ribu kali aku mengguncang tralis-tralis ini, berharap terbuka. Itu tak pernah terjadi.
Aku menyusuri bingkai tralis yang telah berkarat dengan gembok kecil di bagian pengunci. Aku tersenyum. Si lelaki kegelapan lupa mengunci gembok ini. Dengan antusias, aku membukanya. Sebuah balkon kecil menyambutku. Dengan gaun tidur tipis yang tertiup angin, ku jejalkan diriku ke balkon melalui jendela.
Mataku memicing, memandangi pemandangan di bawah balkon. Di sana, beberapa kendaraan dan manusia yang terlihat begitu kecil bergerak. Balkon tempatku berdiri merupakan bagian dari sebuah apartemen yang terletak di lantai dua puluh.
Suaraku sudah berada di ujung lidah saat hendak berteriak. Kuurungkan karena si lelaki kegelapan pasti mendengarku sebelum orang-orang di bawah menyadari aku berteriak. Dan ia akan mengunciku selamanya di sini. Ku putuskan ‘tuk kembali ke dalam dan mencobanya saat ia tidak ada di apartemen.
Kedua mata pucat itu memandangku dari daun jendela saat aku berbalik. Saat itu kusadari tak akan pernah ada kesempatan lain.
Dengan dua tungkai kurus yang pucat dan bergetar, aku memanjat pagar balkon yang rendah. Dengan keseimbangan luar biasa, yang dalam keadaan normal hanya dimiliki para pemain sirkus terlatih, aku, dengan gemetar di lututku, berdiri di atas pagar balkon. Mata si lelaki kegelapan membelalak, ia memanjat jendela, tetapi terlambat.
Aku telah memberikan diriku pada bumi. Di antara rambut panjangku yang berwarna coklat tembaga legam yang ikut beterbangan, ku lihat seorang lelaki berdiri mematung di bibir balkon. Bibirnya memucat.
Senyum tersungging di bibirku. Lelaki itu menyangka apartemen di lantai dua puluh, kunci, dan foto-foto ‘polos’ku dapat mengambil kebebasanku. Ia salah.
Tubuhku meluncur bebas menuju titik-titik manusia dan kendaraan yang semakin lama semakin besar. Gemuruh udara menghimpit dada dan menyesakan telingaku seiring bertambahnya kecepatan jatuhku. Saat ini, aku dan gravitasi saling merindukan.
Tiga lantai dari tanah, begitu wajah-wajah mendongak mencari tahu apa yang hendak jatuh, sesak di dadaku semakin terasa. Asma sialan itu menyambut di saat tidak tepat. Namun itu tidak lama. Begitu orang-orang berteriak, aku berhenti meluncur. Sesuatu menahanku.
Sepasang sayap tumbuh di punggungku.
***
Gelap, gelap, gelap, gelap, dan pengap. Terpejam, terjaga, siang, malam, tetap gelap dan pengap. Tidak ada terang, yang ada hanya gelap dalam berbagai intensitas. Ruangan ini tidak terbuka terhadap cahaya, tidak ramah terhadap udara.
Tubuhku terbaring di atas tempat tidur tanpa seprai maupun selimut. Tubuhku dingin, kepalaku sakit karena terlalu banyak tidur. Hampir setahun ini, sebagian besar waktuku ku habiskan untuk tidur. Tidur tidak lagi menjadi sebuah pemanjaan diri, tetapi menjadi pembunuh bosan atau pelarian. Siapa yang tidak bosan jika hal yang dikerjakan hanya makan, minum, ke kamar mandi, dan bercinta. Tidak, aku tidak bercinta, aku hanya melakukan sexual intercourse, si lelaki kegelapanlah yang bercinta.
Setelah sakit kepalaku sedikit berkurang, aku memandangi ruangan yang gelap dan pengap tanpa minat. Pandanganku tertuju pada pojok ruangan. Di sana terdapat cahaya redup dari lampu duduk yang terhalang kanvas. Di balik kanvas tersebut, seorang lelaki, si lelaki kegelapan, tengah sibuk melukis. Aku bukanlah satu-satunya makhluk hidup di ruangan ini. Tapi jika bisa, aku ingin melenyapkan saja si lelaki kegelapan bersama semua gelap yang ia bawa ke dalam hidupku.
Gontai, aku bangkit dari ranjang. Gaun tidur putih tipisku bergemelisik. Gaun tidur adalah satu-satunya jenis pakaian yang aku pakai setahun ini. Tepatnya, dua hari setelah tinggal di ruangan pengap ini. Saat itu, si lelaki kegelapan baru menyadari aku tidak punya baju ganti. Pada sore itu juga, ia kembali dengan selusin gaun tidur berbagai warna dengan bandrol harga masih tergantung. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana dia dengan wajah pucat dan mata dinginnya menyerahkan selusin gaun tidur pada kasir.
Aku kini berdiri di hadapan kanvas yang tengah dilukis si lelaki kegelapan. “Kavin, aku ingin pulang.” Ujarku datar.
Si lelaki kegelapan tetap sibuk menyapukan kuasnya. Wajah pucatnya yang terbingkai rambut hitam legam acak-acakan berfokus pada lukisannya. “Ini tempatmu pulang.” Si lelaki kegelapan bahkan tidak menatapku saat berucap.
Kurenggut dan kuhempaskan kanvas yang tengah dilukis si lelaki kegelapan ke lantai.
“INI NERAKA.” Aku berteriak sambil menginjak lukisan yang tergeletak di lantai. Di sana, ku lihat gambar diriku yang tengah duduk dengan tatapan kosong. Coretan abu-abu panjang melintang di bagian pinggir akibat ulahku.
Kemarahanku bergejolak. Mengapa ia begitu menikmati kesengsaraanku?
Lukisan itu ku injak-injak dengan histeris. Setelah bosan, aku mengambil lukisan-lukisan lain yang bertebaran di ruangan pengap ini dan meleparkannya ke arah si lelaki kegelapan sambil berteriak-teriak. Keterkurungan melumpuhkan kewarasanku.
Si lelaki kegelapan hanya duduk diam menontonku tanpa ekspresi. Ia membiarkanku merusak apa saja. Ia pun tidak menghindar saat aku menghujaninya dengan berbagai barang yang mampu ku raih. Kediamannya membuatku frustasi.
Hujanan air mata meluncur bebas di pipiku. Aku menangis tersedu sebelum akhirnya aku merasa sesak dan segukan tangisku tercekat. Si lelaki kegelapan bangkit dari duduknya dan menghampiri sebuah meja.
Dengan ventolin di tangan, ia menghampiriku. Aku menderita ashma parah.
Setelah nafasku mulai teratur, aku, dengan wajah lengket karena air mata, menatap si lelaki kegelapan. Segaris luka tergores di keningnya. Salah-satu barang yang ku lemparkan mengenainya.
Pelan, dengan penuh kebencian, aku berujar, “Aku menawarkan persahabatan dan keriangan. Mengapa kau menyambutku dengan kurungan?”
Dapat ku lihat wajah si lelaki kegelapan mengeras mendengar ucapanku, lebih dingin dari biasanya. Ia marah.
Ranjang berderit begitu ia bangkit. Dengan langkah-langkah panjang, ia berjalan menuju pintu. Aku berlari mengejarnya, mengejar setiap kesempatan untuk kebebasan. Namun, si lelaki kegelapan bergerak terlalu cepat. Pintu tertutup sebelum aku sempat meraihnya. Dari balik pintu,  ku dengar bunyi ‘klik’. Aku kembali terkunci.
***
Kanvas-kanvas rusak dan potongan-potongan foto bertebaran. Dapat ku rasakan beberapa potongan foto berada di bawah punggungku yang menekan lantai. Setelah lelah berteriak-teriak dan merusak barang-barang, aku terlalu lelah untuk duduk maupun mencapai kursi atau ranjang.
Secarik potongan foto kumainkan di antara jemari. Foto-foto itu adalah foto-fotoku yang diambil si lelaki kegelapan dari waktu ke waktu. Di sana, dapat ku lihat perubahan diriku. Tubuhku mengering, pandanganku kosong, dan bibirku tak pernah lagi tersenyum. Mungkin si lelaki kegelapan adalah jelmaan dementor. Ia hidup dari menghisap kebahagiaan. Dan aku, mulai menjadi dirinya.
Setiap  foto telah kurobek menjadi cacahan kecil. Dan bilur-bilur membekas di tangkanku setelah mengoyak setiap kanvas. Di ruangan ini tidak ada benda tajam ataupun pemercik api, jadi ku gunakan tanganku sendiri untuk mengoyaknya.
Tubuhku terguncang. Ku pejamkan mataku. Kilasan-kilasan hidup selama setahun berkelebat. Aku menawarkan persahabatan pada si lelaki kegelapan, dan dia membalasnya dengan menarikku pada gelapnya.
Si lelaki kegelapan adalah jenis manusia yang menempati meja di sudut-sudut tergelap kantin kampus saat makan siang, sendirian. Teman yang ia miliki hanyalah kertas dan kanvas. Hanya segelintir manusia yang pernah berbicara dengannya. Aku tidak pernah berbicara dengannya sampai saat ia menjadi bagian dari kelompok proyek mata kuliah kewirausahaan.
Saat-saat kelompok kami berkumpul, si lelaki kegelapan tidak pernah berbicara, kecuali saat ia tidak sependapat. Jika pendapatnya tidak mendapat persetujuan, ia akan melangkah pergi. Sikapnya yang tidak ramah, membuat anggota lain berbalik tidak ramah.
Hari itu hari yang indah, semua anggota kelompok tertawa dan bercengkrama. Tidak ada yang ingin membagi tawa dengan si lelaki kegelapan. Dan aku, memulai pembicaraan dengannya. Aku tidak suka ada yang tersisih saat semua orang tertawa. Saat ini, setelah sekian lama aku terkurung di teritorinya, aku menyadari bahwa diam adalah kenyamanan untuknya.
Pembicaraan pertama membawaku pada pembicaraan-pembicaraan berikutnya. Si lelaki kegelapan terkadang mencariku. Bahkan aku pernah melihatnya tersenyum satu kali. Senyum itu membuatnya terlihat lebih menarik dari keseluruhan laki-laki di kampusku, bahkan lebih menarik dari Samuel, pacarku.
Samuel tidak mengerti mengapa aku mau berteman dengan si lelaki kegelapan, tetapi ia tidak mempermasalahkannya. Si lelaki kegelapan tidak demikian. Terkadang aku melihat kilatan kebencian pada pandangan si lelaki kegelapan saat aku berbicara dengan Samuel. Kebencian itu terlihat lebih nyata saat aku harus meninggalkannya untuk pergi berdua dengan Samuel. Aku menawarkan persahabatan, ia menginginkan lebih.
Suatu hari, si lelaki kegelapan mengejutkanku dengan permintaannya. Ia memintaku untuk meninggalkan Samuel. Tentu saja aku tidak mengikuti keinginannya. Setelah itu, ia tidak memintaku lagi. Ia bersikap seperti biasa, berbicara dan meminta pendapatku terhadap lukisan-lukisannya.
Setahun yang lalu, untuk pertama kalinya, ia mengajakku untuk melihat lukisan di apartemennya. Setelah itu, aku tidak pernah lagi menginjakan kakiku di dunia luar.
Saat ku ingat-ingat lagi, aku merasa begitu bodoh. Seharusnya aku tahu, dari kilatan-kilatan kebencian di matanya saat melihatku dengan Samuel, ia menginginkanku untuk dirinya sendiri.
Dengan tubuh masih terguncang, kuremas carikan foto di jemariku. Lantai tampatku telentang terasa lebih dingin, tetapi keringat menetes-netes di badanku. Itu bukan keringatku. Itu keringat si lelaki kegelapan. Betapa aku membencinya saat ia memasuki tubuhku. Sebelum terkunci di apartemen pengapnya, berciuman pun aku tidak pernah.
Sebelum-sebelumnya, aku selalu memberikan perlawanan dengan gigih. Namun, menyadari itu tidak memiliki efek apapun, kini aku diam saja. Biar dia bercinta dengan sebatang pohon.
Aku bisa merasakan, dengan nafasnya yang masih terengah, si lelaki kegelapan menarik tubuhnya dan berbaring di sebelahku.
Mataku terbuka. Ku lihat si lelaki kegelapan memandangiku.
“Aku mencintaimu, Rindang.” Bisiknya.
Aku memandangnya dan tersenyum.
“Aku membencimu, Kavin.” Ujarku sebagai balasan.
Si lelaki kegelapan bangkit dan duduk. Tangannya menyusuri rambutku.
“Aku tidak peduli.” Suaranya terdengar begitu tenang. Ketenangannya menyesakanku. Tanpa pernah ku rencanakan, dengan kuku-kukuku yang tidak begitu panjang, aku mencakar dadanya. Si lelaki kegelapan berjengit, tiga goresan panjang  tergaris di dadanya.
Si lelaki kegelapan meninggalkanku ke kamar mandi untuk membersihkan luka. Sementara aku, memandangi kuku-kukuku yang beberapa di antaranya tersangkut darah dan kulit si lelaki kegelapan.
***
Lantai dingin tempatku berbaring terasa semakin hangat. Tirai-tirai putih kusam terlihat sedikit kuning, malam telah berlalu.
Aku menyambar gaun tidur putihku dan menutupi badanku dengannya. Sementara itu, ku dengar suara air bergemerecik di kamar mandi. Sepertinya si lelaki kegelapan tengah membersihkan diri.
Potongan-potongan foto menempel di kakiku saat aku berjalan menuju pintu. Ku putar kenopnya. Terkunci, tentu saja.
Banyak cara sudah kucoba untuk keluar dari sarang si lelaki kegelapan, tidak ada yang berhasil. Pintu selalu terkunci. Jendela-jendela berteralis. Aku pernah mencoba berteriak-teriak sampai serak. Tak pernah ada yang mendengar. Udara tidak pernah menyampaikan suaraku pada pendengaran. Apartemen ini apartemen berlantai dua puluh yang tidak laku. Di lantai apartemen si lelaki kegelapan, maupun beberapa lantai di bawahnya, tidak berpenghuni. Teriakanku percuma.
Air masih bergemerecik, si lelaki kegelapan masih sibuk. Salah-satu potongan foto telanjangku terinjak saat aku meninggalkan pintu menuju jendela balkon. Jikapun aku pergi, si lelaki kegelapan dapat dengan mudahnya menghancurkan hidupku.
Jemariku yang kurus, panjang, dan pucat mencengkram bagian bawah tirai yang kekuningan menahan cahaya. Telah lama sekali sejak aku berteriak-teriak dan bersentuhan dengan cahaya matahari.
***
Sepasang sayap tumbuh di punggungku, menahan jatuhku tepat beberapa lantai sebelum tanah, tepat setelah asma yang menyakitkan datang. Sepasang sayap putih itu mengepak-ngepak, indah.
Perhatianku pada sayap teralih begitu ku dengar teriakan orang-orang di bawahku. Lambat, ku lihat mereka bergerak menuju satu titik. Sebuah tubuh wanita bergaun tidur putih tergeletak di aspal. Warna merah menggenang di kepalanya, semakin lama semakin besar.
Tubuhku semakin ringan seiring bertambah besarnya genangan merah di aspal. Tepat saat genangan merah itu mengenai kaki salah-satu orang yang berkerumun, sayap menghilang dari bahuku. Dan aku, terurai menjadi butir-butir cahaya yang menyatu bersama udara.
Aku, bebas.
***
Ditulis oleh Wulan Dewatra/17 Januari 2014

Thursday, April 3, 2014

Origami









Selembar pedih dikirim malam melalui celah pintu
Aku memulasnya sewarna jingga
Kemudian kulipat hingga menyerupai perahu
Kini meluncurlah ia dan berkelana
Hingga akhirnya  kutemui
kepedihan hanyalah setitik warna di luas samudera sukacita

Selembar pedih dikirim malam melalui celah pintu
Aku memulasnya dengan merah jambu
Kemudian kulipat, lipat, lipat lagi hingga menyerupai kupu-kupu
Kini terbanglah ia dan berkelana
Hingga akhirnya kutemui
kepedihan hanyalah tambahan kepak di tengah hanami rasa

Lembar demi lembar pedih tak 'kan henti beralamatkan ruang kita
Tak melulu dikirim melalui pintu, pula melalui jendela dan lubang udara
Hingga malam hanyalah perihal memulas dan melipat
Melipat kemudian melepaskan
Maka pada saatnya bertemu
Pedih tak lebih dari titik kecil warna-warni dalam lapangnya dada manusia