Di
satu hari yang basah, saat itu kamu tengah menonton berita pagi di televisi,
sebuah kabar meletupkan kesadaran di kepalamu. Sebenar-benarnya, stempel sakit jiwa
di jidat seseorang tidak bermula saat ia menangis dan berteriak histeris,
tetapi saat ia mulai terdiam atau terlihat riang. Karena menangis adalah ekor
dari pedih. Dan pedih adalah penyambung realita yang tidak dimiliki si gila.
Dering
ponselmu yang masih monoponik itulah penyampai kabar yang membuatmu terjaga tentang
mereka yang tertuduh sakit jiwa. Kesadaran yang berakar hanya pada pengamatanmu
tentu saja. Belum tentu benar karena kamu bukanlah seorang psikiater atau
psikolog atau pekerja sosial atau mahasiswa yang mempelajari ketiganya.
Kabar
yang satu itu bukan satu-satunya kabar yang akan membuatmu tertegun tentang jiwa-jiwa
manusia. Tentu saja hari itu kamu belum tahu. Di satu hari basah yang lain,
akan ada satu kabar lagi menghampirimu. Tetang sepasang mata yang serupa
matamu. Dan tentang betapa kuatnya sebuah jiwa perempuan bisa menjadi.
***
Dyahlah
nama teman kuliahmu yang satu itu. Ia seorang periang yang akan dengan senang
hati membantu siapapun. Keriangannya pernah membuatmu menduga ia lahir saat
burung-burung berkicau riang di musim semi. Musim yang hanya kamu tahu dari
buku-buku karena kamu tidak pernah berada di negara yang memiliki empat musim.
Lagipula, hari di rumahmu tak pernah beranjak dari satu musim –basah.
Malam
itu kamu pulang terlambat. Begitu membuka pintu, kamu sudah bersiap-siap untuk
menerima luapan amarah ibumu yang selalu duduk di kursi rotan yang membuatnya
terlihat jauh lebih tua. Selalu, ibumu duduk di sana menunggumu jika pulang
malam. Setelah mendengar derit pintu yang menandakan kepulanganmu, ia akan
bermonolog mengenai bahaya yang bisa diciptakan oleh tiga hal: malam, jalanan,
dan laki-laki hidung belang. Mungkin, jika cerita tentang celana dalam besi bergembok itu benar, ibumu akan
membelinya satu, memasangkannya padamu, dan menyimpan kuncinya di saku baju.
Monolog
ibumu tak pernah lebih dari lima menit dengan isi yang itu-itu saja. Tetapi,
nada dingin yang keluar dari mulut ibumu sering membuatmu merasa telah
menghabiskan puluhan putaran jarum jam dinding tua di atas bufet mahogany.
Setelah
bermonolog, ibumu akan berbalik untuk masuk ke kamarnya tanpa memandangmu.
Sepanjang ingatan yang lengket melekat di benakmu, ibumu memang tak pernah
memandangmu. Ia selalu memalingkan muka saat berpapasan denganmu dan memandang
ke arah lain saat berbicara. Mengapa ia tak mau beradu mata denganmu, menjadi
pertanyaan yang tak pernah terjawab di daftar panjang pertanyaan yang ingin
kamu ajukan padanya tapi tak kunjung juga kamu ajukan.
Satu-satunya
pertanyaan yang pernah berani kamu ajukan pada ibumu adalah keberadaan Bapak.
Itu pun terjadi saat kamu baru masuk Taman Kanak-Kanak, saat kamu masih belum
mengenal kata canggung dan penuh rasa ingin tahu. Ibumu hanya bilang bahwa kamu
anak yatim. Kamu kemudian mengajukan pertanyaan serupa pada Kakek, Nenek,
Tante, Paman, dan semua yang menyatakan diri sebagai saudara Ibumu. Semua
mengamini jawaban Ibumu. Tetapi, setelah kamu tahu bahwa yatim artinya anak
yang ditinggal mati Bapak atau Ibunya dan bertanya bagaimana Bapak bisa mati,
tidak ada yang bisa menjawab.
Beranjak
dewasa, kamu pernah mengira Ibumu membencimu karena ia tak pernah melakukan
hal-hal menggelikan seperti yang biasa dilakukan para Ibu pada anak-anaknya,
mencium dan memeluk misalnya, atau sekadar bertanya, “Bagaimana sekolahmu?”
Tetapi kemudian kamu merasa bersalah telah berpikir begitu karena Ibumu berlaku
sama terhadap semua orang, dingin, bicara seperlunya, bukan sejenis manusia
penyebar afeksi. Tidak mungkin seseorang bisa membenci seluruh dunia beserta
isinya, bukan?
Namun,
malam itu, Ibumu lain dari biasanya. Ia tidak duduk di kursi rotannya,
melainkan di sofa tua depan televisi. Tangannya mencengkeram erat pinggiran
sofa seperti penumpang kapal laut mencengkeran pinggiran geladak saat badai.
Seperti
kucing, kamu mengendap menuju kamar yang pintunya berada di belakang sofa tua
yang diduduki Ibumu. Suara dari televisi yang tengah menyiarkan berita malam
tentang perkosaan teredam begitu kamu menutup pintu kamarmu. Berita perkosaan
telah mejadi sesuatu yang biasa seperti
berita naiknya harga cabai dan bawang merah. Kamu tak ambil pusing.
Tapi
kemudian kamu menjadi ambil pusing begitu menerima telepon pada pukul tiga
malam. Di ujung telepon, Ibu dari temanmu yang bernama Dyah itu menanyakan
keberadaan Dyah yang belum juga sampai rumah. Padahal kamu ingat betul, enam
jam yang lalu, kalian berdua pulang bersama dari rumah kost temanmu yang lain
sehabis menyusun mini research.
Kalian berpisah begitu naik bis dengan arah berbeda karena rumah kalian
berlawanan arah. Maka di pukul tiga malam itu, kamu tidak bisa memberi jawaban
selain ‘tidak tahu’ dan menyimpan gelisah sampai pagi.
Esoknya,
Ibumu yang sedang menyiapkan alat untuk merias pengantin memberi monolog lima
menitnya yang tidak sempat disampaikan tadi malam. Ia memberi monolog dengan
memunggungimu. Dari balik punggunnya kamu dapat melihat ia sedang menjejerkan
kuas-kuas beragam ukuran. Hanya dari merias pengantinlah Ibumu yang kurus itu
mendapat uang.
Selepas
itu, kamu pergi ke kampus seperti biasa. Sesampai di kampus, kamu digegerkan
oleh sebuah berita. Dyah ditemukan pingsan di pinggir jalan subuh tadi. Ia
diduga menjadi korban perkosaan.
***
Tidak
pernah lagi kamu temui Dyah di kampus setelah berita itu kamu dengar. Tapi kamu
mulai menjadi serupa kotak surat yang terus-menerus menerima kabar. Kabar bahwa
Dyah tidak pernah berhenti menangis, kabar bahwa Dyah tidak mau bertemu dengan
siapa pun, dan kabar bahwa pelakunya dihukum kurang dari lima tahun.
Akhirnya,
Dyah berhenti menangis di satu pagi. Di pagi ia dikirim ke rumah sakit jiwa
setelah membaca sebuah berita. Berita itu tentang seorang orang penting yang
berkomentar sembrono tentang hukuman bagi pelaku kejahatan seksual. Katanya,
tak perlulah mereka dihukum mati karena kebanyakan yang diperkosa pun sudah
tidak perawan. Kurang ajar benar memang. Perkosaan bukanlah perkara perawan
atau tidak perawan. Tetapi pemaksaan kehendak. Bagaimana seseorang memaksa
memasuki diri orang lain yang tidak ingin dan membuang kotorannya pada orang
itu. Jadi wajarlah jika pagi itu Dyah mengamuk. Dan disangka gila. Dan masuk
rumah sakit jiwa.
***
Ibumu
telah berhenti bermonolog sejak peristiwa Dyah. Itu karena kamu tak pernah lagi
pulang malam. Praktis, kamu hampir tak pernah lagi mendengar Ibumu bersuara.
“Mau
kemana?” Satu-satunya kalimat yang diucapkan Ibumu pagi itu.
Kamu
pun berujar akan menengok Dyah di rumahnya. Semalam kamu mendengar kabar Dyah
telah dibawa pulang. Katanya, Dyah sudah tidak pernah lagi menangis apalagi
mengamuk histeris. Dyah hanya sering terdiam dan melamun.
Deskripsi
itu tidak benar, jika tidak dikatakan salah besar. Dyah menyambutmu dengan
sangat riang dan tak bisa berhenti bertanya banyak hal padamu, banyaknya
tentang kuliah dan tetek bengek hidup sehari-hari yang ia lewatkan. Kamu sempat
bergidik saat Dyah melambaikan tangannya padamu ketika keluar dari pagar
rumahnya. Dyah sebenarnya belum boleh pulang dari rumah sakit.
***
Pagi
itu pagi yang basah seperti semua hari yang kamu habiskan di rumahmu. Kamu
sedang menonton berita pagi yang lebih biasa dari sekadar perkosaan dan
kenaikan harga cabai: berita kecelakaan lalu lintas dan tawuran antarpelajar.
Ponselmu
yang masih monoponik itu bersuara untuk menyampaikan kabar. Dan di pagi yang
basah itu, satu kesadaran meletup di kepalamu. Seseorang sakit jiwa tidak
bermula saat ia menangis dan menjerit histeris, tetapi saat ia mulai terdiam
atau terlihat riang.
Kabar
tentang matinya Dyah yang mendekam di inbox
ponselmu itu bukan satu-satunya kabar yang akan menghampirimu tentang
beragamnya jiwa-jiwa manusia. Di suatu pagi basah yang lain, satu kabar lain
akan langsung mengetuk pintu rumahmu. Tapi pagi itu tentu kamu belum tahu.
Kamu
hanya tertegun sejenak. Pikiranmu berjalan menyusuri halaman-halaman Norwegian Wood-nya Murakami. Benakmu
terhenti di satu bagian, saat Naoko terlihat begitu normal dan sedikit lebih
ceria dari biasanya sebelum kemudian ditemukan gantung diri. Setelahnya, kamu
beranjak ke kamar mandi dan mengeluarkan baju hitam terbaikmu dari lemari.
***
Sempat
kamu sapa Haji Hasan saat kamu pulang dari kantor pos di Jumat itu. Haji Hasan
dengan kepala dipenuhi rambut beruban berjalan dengan menenteng sebuah ban
serupa ban dalam kecil. Kamu sudah tahu, jika Haji Hasan berpakaian koko,
bersarung, berkopiah, dan membawa ban kecil di hari Jumat, berarti Haji Hasan tidak
hendak menjadi Khatib salat Jumat. Haji Hasan menderita ambeien.
Sayangnya,
anak-anak yang usil tidak paham menderitanya duduk bagi penderita ambeien. Jadi
seringnya mereka, diam-diam atau terang-terangan, menertawakan Haji Hasan saat
duduk di atas ban untuk mendengarkan khotbah Jumat dari Khatib yang berdiri di
mimbar. Tetapi Haji Hasan tak pernah marah. Ia selalu ramah. Ramah yang membuatmu
ingat Dyah.
Jumat
ini setahun kematian Dyah. Kamu sudah hampir tak ingat wajahnya, tetapi
kenangannya begitu lekat. Biasanya Dyah mengantarmu mengambil wesel di kantor
pos tiap tanggal enam, kecuali jika tanggal enam itu hari Minggu atau tanggal
merah.
Kiriman
wesel itu diawali saat kamu mengangkat telepon rumah saat SMP. Seorang asing,
perempuan bersuara ramah yang cocok jadi telemarketer
maupun sekretaris, mengatakan sesuatu tentang wesel untukmu. Kamu kira itu ulah
orang iseng. Tapi saat kamu pun iseng mengeceknya ke kantor pos, ternyata si
penelepon tidak iseng. Wesel itu menjadi rutin datang. Jumlahnya meningkat dari
tahun ke tahun. Kamu sempat mengecek pengirimnya, tetapi yang tertera adalah
nama perusahaan yang belum pernah kamu dengar.
Ada
yang aneh dengan wesel itu. Ibumu yang tahu kamu mendapat kiriman uang tidak
pernah mau menyentuh apapun yang kamu beli dengan uang itu. Tapi ia juga tidak
pernah melarangmu untuk menerima dan menggunakannya.
***
Kabar
yang dijanjikan akan mengetuk pintu rumahmu tiba hari ini. Kabar itu ditandai
jeritan memekakan di pagi hari. Kamu yang tengah membereskan alat rias bertanya-tanya
siapa yang berteriak begitu pilu. Dan kamu pun terlonjak begitu menyadari itu
suara Ibumu yang sebelumnya beranjak untuk membukakan pintu.
Ternyata
tidak ada apa-apa di ruang tamu. Hanya ada ibu yang histeris dan seorang lelaki
setengah baya parlente yang bingung. Kamu sempat berpandangan dengan lelaki itu
sebelum mendekati Ibumu. Dan pahamlah kamu saat itu. Kamu tahu mengapa Ibumu
tak pernah mampu memandangmu. Lelaki itu memiliki sepasang mata yang persis
dengan milikmu.
***
Ibumu
tahu benar saat mengatakan ada bahaya yang disebabkan oleh tiga hal: malam,
jalanan, dan laki-laki hidung belang. Di hari laki-laki parlente itu datang,
yang konon untuk meminta pengampunan, kamu tahu darimana wesel-wesel itu
berasal. Kamu mengerti mengapa di rumahmu hanya ada satu musim, basah. Basah
yang berasal dari kedua mata Ibumu. Tetapi yang paling kamu benar-benar pahami
adalah betapa kuatnya jiwa seorang perempuan dapat menjadi. Itu adalah Ibumu. Ia
tidak memilih membunuhmu, menjadi gila, atau membunuh dirinya. Tetapi memilih
menua seiring bertumbuhnya dirimu.
***