Jemariku yang
panjang, kurus, dan pucat menyentuh tirai putih panjang, kumal, dan berdebu.
Mungkin sejak pertama kali terpasang, tirai tersebut tak pernah dicuci apalagi
dikelantang. Dengan kasar, ku sibakan tirai kumal itu, membebaskan cahaya
matahari dan debu dari dekapnya. Mataku mengerjap. Hampir setahun aku tak
bercengkrama dengan cahaya.
Setelah mulai
terbiasa dengan cahaya matahari, aku mencengkram teralis yang membatasiku
dengan jendela. Entah sudah berapa ribu kali aku mengguncang tralis-tralis ini,
berharap terbuka. Itu tak pernah terjadi.
Aku menyusuri
bingkai tralis yang telah berkarat dengan gembok kecil di bagian pengunci. Aku
tersenyum. Si lelaki kegelapan lupa mengunci gembok ini. Dengan antusias, aku
membukanya. Sebuah balkon kecil menyambutku. Dengan gaun tidur tipis yang
tertiup angin, ku jejalkan diriku ke balkon melalui jendela.
Mataku memicing,
memandangi pemandangan di bawah balkon. Di sana, beberapa kendaraan dan manusia
yang terlihat begitu kecil bergerak. Balkon tempatku berdiri merupakan bagian
dari sebuah apartemen yang terletak di lantai dua puluh.
Suaraku sudah
berada di ujung lidah saat hendak berteriak. Kuurungkan karena si lelaki
kegelapan pasti mendengarku sebelum orang-orang di bawah menyadari aku
berteriak. Dan ia akan mengunciku selamanya di sini. Ku putuskan ‘tuk kembali
ke dalam dan mencobanya saat ia tidak ada di apartemen.
Kedua mata pucat
itu memandangku dari daun jendela saat aku berbalik. Saat itu kusadari tak akan
pernah ada kesempatan lain.
Dengan dua
tungkai kurus yang pucat dan bergetar, aku memanjat pagar balkon yang rendah. Dengan
keseimbangan luar biasa, yang dalam keadaan normal hanya dimiliki para pemain
sirkus terlatih, aku, dengan gemetar di lututku, berdiri di atas pagar balkon. Mata
si lelaki kegelapan membelalak, ia memanjat jendela, tetapi terlambat.
Aku telah
memberikan diriku pada bumi. Di antara rambut panjangku yang berwarna coklat
tembaga legam yang ikut beterbangan, ku lihat seorang lelaki berdiri mematung
di bibir balkon. Bibirnya memucat.
Senyum
tersungging di bibirku. Lelaki itu menyangka apartemen di lantai dua puluh,
kunci, dan foto-foto ‘polos’ku dapat mengambil kebebasanku. Ia salah.
Tubuhku meluncur
bebas menuju titik-titik manusia dan kendaraan yang semakin lama semakin besar.
Gemuruh udara menghimpit dada dan menyesakan telingaku seiring bertambahnya
kecepatan jatuhku. Saat ini, aku dan gravitasi saling merindukan.
Tiga lantai dari
tanah, begitu wajah-wajah mendongak mencari tahu apa yang hendak jatuh, sesak
di dadaku semakin terasa. Asma sialan itu menyambut di saat tidak tepat. Namun
itu tidak lama. Begitu orang-orang berteriak, aku berhenti meluncur. Sesuatu
menahanku.
Sepasang sayap
tumbuh di punggungku.
***
Gelap, gelap,
gelap, gelap, dan pengap. Terpejam, terjaga, siang, malam, tetap gelap dan
pengap. Tidak ada terang, yang ada hanya gelap dalam berbagai intensitas.
Ruangan ini tidak terbuka terhadap cahaya, tidak ramah terhadap udara.
Tubuhku
terbaring di atas tempat tidur tanpa seprai maupun selimut. Tubuhku dingin,
kepalaku sakit karena terlalu banyak tidur. Hampir setahun ini, sebagian besar
waktuku ku habiskan untuk tidur. Tidur tidak lagi menjadi sebuah pemanjaan
diri, tetapi menjadi pembunuh bosan atau pelarian. Siapa yang tidak bosan jika
hal yang dikerjakan hanya makan, minum, ke kamar mandi, dan bercinta. Tidak,
aku tidak bercinta, aku hanya melakukan sexual
intercourse, si lelaki kegelapanlah yang bercinta.
Setelah sakit
kepalaku sedikit berkurang, aku memandangi ruangan yang gelap dan pengap tanpa
minat. Pandanganku tertuju pada pojok ruangan. Di sana terdapat cahaya redup
dari lampu duduk yang terhalang kanvas. Di balik kanvas tersebut, seorang
lelaki, si lelaki kegelapan, tengah sibuk melukis. Aku bukanlah satu-satunya
makhluk hidup di ruangan ini. Tapi jika bisa, aku ingin melenyapkan saja si
lelaki kegelapan bersama semua gelap yang ia bawa ke dalam hidupku.
Gontai, aku
bangkit dari ranjang. Gaun tidur putih tipisku bergemelisik. Gaun tidur adalah
satu-satunya jenis pakaian yang aku pakai setahun ini. Tepatnya, dua hari
setelah tinggal di ruangan pengap ini. Saat itu, si lelaki kegelapan baru
menyadari aku tidak punya baju ganti. Pada sore itu juga, ia kembali dengan
selusin gaun tidur berbagai warna dengan bandrol harga masih tergantung. Aku
tidak dapat membayangkan bagaimana dia dengan wajah pucat dan mata dinginnya menyerahkan
selusin gaun tidur pada kasir.
Aku kini berdiri
di hadapan kanvas yang tengah dilukis si lelaki kegelapan. “Kavin, aku ingin
pulang.” Ujarku datar.
Si lelaki
kegelapan tetap sibuk menyapukan kuasnya. Wajah pucatnya yang terbingkai rambut
hitam legam acak-acakan berfokus pada lukisannya. “Ini tempatmu pulang.” Si
lelaki kegelapan bahkan tidak menatapku saat berucap.
Kurenggut dan
kuhempaskan kanvas yang tengah dilukis si lelaki kegelapan ke lantai.
“INI NERAKA.”
Aku berteriak sambil menginjak lukisan yang tergeletak di lantai. Di sana, ku
lihat gambar diriku yang tengah duduk dengan tatapan kosong. Coretan abu-abu
panjang melintang di bagian pinggir akibat ulahku.
Kemarahanku
bergejolak. Mengapa ia begitu menikmati kesengsaraanku?
Lukisan itu ku
injak-injak dengan histeris. Setelah bosan, aku mengambil lukisan-lukisan lain
yang bertebaran di ruangan pengap ini dan meleparkannya ke arah si lelaki
kegelapan sambil berteriak-teriak. Keterkurungan melumpuhkan kewarasanku.
Si lelaki
kegelapan hanya duduk diam menontonku tanpa ekspresi. Ia membiarkanku merusak
apa saja. Ia pun tidak menghindar saat aku menghujaninya dengan berbagai barang
yang mampu ku raih. Kediamannya membuatku frustasi.
Hujanan air mata
meluncur bebas di pipiku. Aku menangis tersedu sebelum akhirnya aku merasa
sesak dan segukan tangisku tercekat. Si lelaki kegelapan bangkit dari duduknya
dan menghampiri sebuah meja.
Dengan ventolin di tangan, ia menghampiriku.
Aku menderita ashma parah.
Setelah nafasku
mulai teratur, aku, dengan wajah lengket karena air mata, menatap si lelaki
kegelapan. Segaris luka tergores di keningnya. Salah-satu barang yang ku
lemparkan mengenainya.
Pelan, dengan
penuh kebencian, aku berujar, “Aku menawarkan persahabatan dan keriangan.
Mengapa kau menyambutku dengan kurungan?”
Dapat ku lihat wajah
si lelaki kegelapan mengeras mendengar ucapanku, lebih dingin dari biasanya. Ia
marah.
Ranjang berderit
begitu ia bangkit. Dengan langkah-langkah panjang, ia berjalan menuju pintu.
Aku berlari mengejarnya, mengejar setiap kesempatan untuk kebebasan. Namun, si
lelaki kegelapan bergerak terlalu cepat. Pintu tertutup sebelum aku sempat
meraihnya. Dari balik pintu, ku dengar
bunyi ‘klik’. Aku kembali terkunci.
***
Kanvas-kanvas
rusak dan potongan-potongan foto bertebaran. Dapat ku rasakan beberapa potongan
foto berada di bawah punggungku yang menekan lantai. Setelah lelah
berteriak-teriak dan merusak barang-barang, aku terlalu lelah untuk duduk
maupun mencapai kursi atau ranjang.
Secarik potongan
foto kumainkan di antara jemari. Foto-foto itu adalah foto-fotoku yang diambil
si lelaki kegelapan dari waktu ke waktu. Di sana, dapat ku lihat perubahan
diriku. Tubuhku mengering, pandanganku kosong, dan bibirku tak pernah lagi
tersenyum. Mungkin si lelaki kegelapan adalah jelmaan dementor.
Ia hidup dari menghisap kebahagiaan. Dan aku, mulai menjadi dirinya.
Setiap foto telah kurobek menjadi cacahan kecil.
Dan bilur-bilur membekas di tangkanku setelah mengoyak setiap kanvas. Di
ruangan ini tidak ada benda tajam ataupun pemercik api, jadi ku gunakan
tanganku sendiri untuk mengoyaknya.
Tubuhku
terguncang. Ku pejamkan mataku. Kilasan-kilasan hidup selama setahun berkelebat.
Aku menawarkan persahabatan pada si lelaki kegelapan, dan dia membalasnya dengan
menarikku pada gelapnya.
Si lelaki
kegelapan adalah jenis manusia yang menempati meja di sudut-sudut tergelap
kantin kampus saat makan siang, sendirian. Teman yang ia miliki hanyalah kertas
dan kanvas. Hanya segelintir manusia yang pernah berbicara dengannya. Aku tidak
pernah berbicara dengannya sampai saat ia menjadi bagian dari kelompok proyek
mata kuliah kewirausahaan.
Saat-saat
kelompok kami berkumpul, si lelaki kegelapan tidak pernah berbicara, kecuali
saat ia tidak sependapat. Jika pendapatnya tidak mendapat persetujuan, ia akan
melangkah pergi. Sikapnya yang tidak ramah, membuat anggota lain berbalik tidak
ramah.
Hari itu hari
yang indah, semua anggota kelompok tertawa dan bercengkrama. Tidak ada yang
ingin membagi tawa dengan si lelaki kegelapan. Dan aku, memulai pembicaraan
dengannya. Aku tidak suka ada yang tersisih saat semua orang tertawa. Saat ini,
setelah sekian lama aku terkurung di teritorinya, aku menyadari bahwa diam
adalah kenyamanan untuknya.
Pembicaraan
pertama membawaku pada pembicaraan-pembicaraan berikutnya. Si lelaki kegelapan
terkadang mencariku. Bahkan aku pernah melihatnya tersenyum satu kali. Senyum
itu membuatnya terlihat lebih menarik dari keseluruhan laki-laki di kampusku,
bahkan lebih menarik dari Samuel, pacarku.
Samuel tidak
mengerti mengapa aku mau berteman dengan si lelaki kegelapan, tetapi ia tidak
mempermasalahkannya. Si lelaki kegelapan tidak demikian. Terkadang aku melihat
kilatan kebencian pada pandangan si lelaki kegelapan saat aku berbicara dengan
Samuel. Kebencian itu terlihat lebih nyata saat aku harus meninggalkannya untuk
pergi berdua dengan Samuel. Aku menawarkan persahabatan, ia menginginkan lebih.
Suatu hari, si
lelaki kegelapan mengejutkanku dengan permintaannya. Ia memintaku untuk
meninggalkan Samuel. Tentu saja aku tidak mengikuti keinginannya. Setelah itu,
ia tidak memintaku lagi. Ia bersikap seperti biasa, berbicara dan meminta
pendapatku terhadap lukisan-lukisannya.
Setahun yang
lalu, untuk pertama kalinya, ia mengajakku untuk melihat lukisan di apartemennya.
Setelah itu, aku tidak pernah lagi menginjakan kakiku di dunia luar.
Saat ku
ingat-ingat lagi, aku merasa begitu bodoh. Seharusnya aku tahu, dari
kilatan-kilatan kebencian di matanya saat melihatku dengan Samuel, ia
menginginkanku untuk dirinya sendiri.
Dengan tubuh
masih terguncang, kuremas carikan foto di jemariku. Lantai tampatku telentang
terasa lebih dingin, tetapi keringat menetes-netes di badanku. Itu bukan
keringatku. Itu keringat si lelaki kegelapan. Betapa aku membencinya saat ia
memasuki tubuhku. Sebelum terkunci di apartemen pengapnya, berciuman pun aku
tidak pernah.
Sebelum-sebelumnya,
aku selalu memberikan perlawanan dengan gigih. Namun, menyadari itu tidak
memiliki efek apapun, kini aku diam saja. Biar dia bercinta dengan sebatang pohon.
Aku bisa
merasakan, dengan nafasnya yang masih terengah, si lelaki kegelapan menarik
tubuhnya dan berbaring di sebelahku.
Mataku terbuka.
Ku lihat si lelaki kegelapan memandangiku.
“Aku
mencintaimu, Rindang.” Bisiknya.
Aku memandangnya
dan tersenyum.
“Aku membencimu,
Kavin.” Ujarku sebagai balasan.
Si lelaki
kegelapan bangkit dan duduk. Tangannya menyusuri rambutku.
“Aku tidak
peduli.” Suaranya terdengar begitu tenang. Ketenangannya menyesakanku. Tanpa
pernah ku rencanakan, dengan kuku-kukuku yang tidak begitu panjang, aku
mencakar dadanya. Si lelaki kegelapan berjengit, tiga goresan panjang tergaris di dadanya.
Si lelaki
kegelapan meninggalkanku ke kamar mandi untuk membersihkan luka. Sementara
aku, memandangi kuku-kukuku yang beberapa di antaranya tersangkut darah dan
kulit si lelaki kegelapan.
***
Lantai dingin
tempatku berbaring terasa semakin hangat. Tirai-tirai putih kusam terlihat
sedikit kuning, malam telah berlalu.
Aku menyambar
gaun tidur putihku dan menutupi badanku dengannya. Sementara itu, ku dengar
suara air bergemerecik di kamar mandi. Sepertinya si lelaki kegelapan tengah
membersihkan diri.
Potongan-potongan
foto menempel di kakiku saat aku berjalan menuju pintu. Ku putar kenopnya.
Terkunci, tentu saja.
Banyak cara
sudah kucoba untuk keluar dari sarang si lelaki kegelapan, tidak ada yang
berhasil. Pintu selalu terkunci. Jendela-jendela berteralis. Aku pernah mencoba
berteriak-teriak sampai serak. Tak pernah ada yang mendengar. Udara tidak
pernah menyampaikan suaraku pada pendengaran. Apartemen ini apartemen berlantai
dua puluh yang tidak laku. Di lantai apartemen si lelaki kegelapan, maupun
beberapa lantai di bawahnya, tidak berpenghuni. Teriakanku percuma.
Air masih bergemerecik,
si lelaki kegelapan masih sibuk. Salah-satu potongan foto telanjangku terinjak
saat aku meninggalkan pintu menuju jendela balkon. Jikapun aku pergi, si lelaki
kegelapan dapat dengan mudahnya menghancurkan hidupku.
Jemariku yang
kurus, panjang, dan pucat mencengkram bagian bawah tirai yang kekuningan
menahan cahaya. Telah lama sekali sejak aku berteriak-teriak dan bersentuhan
dengan cahaya matahari.
***
Sepasang sayap
tumbuh di punggungku, menahan jatuhku tepat beberapa lantai sebelum tanah,
tepat setelah asma yang menyakitkan datang. Sepasang sayap putih itu
mengepak-ngepak, indah.
Perhatianku pada
sayap teralih begitu ku dengar teriakan orang-orang di bawahku. Lambat, ku
lihat mereka bergerak menuju satu titik. Sebuah tubuh wanita bergaun tidur
putih tergeletak di aspal. Warna merah menggenang di kepalanya, semakin lama
semakin besar.
Tubuhku semakin
ringan seiring bertambah besarnya genangan merah di aspal. Tepat saat genangan
merah itu mengenai kaki salah-satu orang yang berkerumun, sayap menghilang dari
bahuku. Dan aku, terurai menjadi butir-butir cahaya yang menyatu bersama udara.
Aku, bebas.
***
Ditulis oleh Wulan Dewatra/17 Januari 2014