Tuesday, January 12, 2010

Tak Perlu Mobil-Mobilan Super Besar



Seorang perempuan pucat dengan rambut panjang yang diikat menyerupai ekor kuda berjalan di trotoar yang berdebu di hari kelabu. Tidak, langit tidak sedang mendung tersaput awan, hanya saja hatinya sedang kesal tidak menentu karena tumpukan tugas dan rasa lelah. Dengan converse usangnya ia menaiki tangga penyebrangan jalan yang lengang karena sepertinya orang-orang lebih memilih cepat ketimbang selamat. Padahal Tuhan hanya memberikan satu nyawa pada satu tubuh. Ah, mungkin mereka lupa, atau ingat namun merasa bahwa kematian berjarak begitu jauh? Jika demikian, maka saat ini kematian sedang tersenyum, karena jika ia berlomba lari dengan cahaya sekalipun, tetap dia pemenangnya. Beberapa menit kemudian, perempuan tersebut sudah berdiri di sisi jalan yang berbeda, menunggu angkot.
Di bangku angkot yang paling ujung, bagian terjauh dari pintu, perempuan tersebut menghempaskan pantatnya seolah-olah dengan begitu ia mampu melepaskan seluruh rasa lelahnya. Sebagai seorang commuter, setiap hari ia menghabiskan tiga jam untuk duduk di atas angkutan umum dengan rute Padalarang-Setiabudi untuk menuntut ilmu, menjalani takdir lebih tepatnya. Jadi, rasa lelah bukanlah hal yang baru baginya, hal biasa, basi, tak perlu dikeluhkan. Sekilas, setelah menghempaskan pantatnya di bangku angkot, ia mengedarkan pandangannya. Hanya ada seorang bapak-bapak dengan seorang anak yang berusia tak lebih dari satu tahun di angkot tersebut. Keduanya memakai baju yang kotor dan lusuh, namun itu tidak mengganggu si perempuan karena sebagai orang yang menghabiskan masa kecilnya di sungai, kotor bukanlah masalah. Lagipula keduanya duduk di ujung berlawanan, dekat dengan supir.
Menguap pelan, si perempuan pucat membuka tasnya dan mengambil Nokia 2626nya. Kau pasti tahu bahwa dia tak bermaksud pamer, karena apalah yang bisa disombongkan dari Nokia 2626 jika orang yang duduk di sebelahmu mengeluarkan Blackberry? Kau juga pasti bisa menebak, jika ia tidak hendak mengirim pesan atau bermain game, maka kemungkinan besar ia hendak membuka FBnya dan membuang pulsa dan waktunya. Membuang waktu? Ralat, menjalani waktunya lebih tepatnya. Karena pada hakikatnya waktu itu independent dan berjalan dengan aturannya sendiri di luar tangan kita. Waktu tidak seperti uang, dipakai atau tidak dipakai ia akan tetap habis.
Ya, ternyata si perempuan pucat itu sedang membuka FBnya dan membaca status teman-temannya. Salah-satu status yang ia baca menarik perhatiannya, padahal itu hanya status biasa yang berbunyi “I Love My Life”. Senyum sinis tersungging di bibirnya saat hatinya dengan tak kalah sinisnya berkata,”Bagaimana mungkin kau tak cinta hidupmu? Kau cantik, datang dari keluarga kaya-raya yang utuh, dan dapat dengan mudah pergi ke Pataya. Apa yang mampu kau keluhkan?” ujar si perempuan pucat yang kemudian menutup FBnya. Menyandarkan kepalanya ke jendela angkot, agak terganggu dengan kucirnya.
Beberapa menit setelah si perempuan pucat menutup FBnya dan melamun, angkot yang Ia tumpangi berhenti. Memang begitulah angkot, berhenti saat ada calon penumpang potensial atau saat ada penumpang yang hendak turun. Kali ini angkot berhenti karena sang supir melihat calon penumpag potensial. Seorang ayah yang menggendong anak balitanya dan seorang ibu yang membawa mobil-mobilan super besar yang masih terbungkus plastik dan ditempeli kertas pink bergambar mainan-mainan lain yang disebut label masuk dan duduk di hadapannya. Si perempuan pucat melempar senyum sekilas sebagai sopan santun dan meneruskan lamunannya. Angkotpun kembali melaju dengan kecepatan yang akan membuat seekor siput terkagum-kagum.
Lamunan si perempuan pucat buyar saat mobil-mobilan super besar yang masih terbungkus plastik dan berlabel pink tersebut menyenggolnya ketika ketiga penumpang di hadapannya hendak turun. Label yang merupakan kertas pink bergambar mainan tersebut terlepas dari plastik mobil-mobilan dan jatuh ke lantai mobil dekat pintu. Tak diambil oleh sang ibu. Dapat dimengerti, itu hanyalah kertas yang akan dengan cepat terinjak dan menjadi sampah.
Angkot kembali melaju dengan kecepatan yang sama membuat pohon, rumah, rumput, dan objek lain yang dilewati seperti merangkak. Kini di angkot tersebut kembali menjadi tiga orang. Bapak-bapak berbaju lusuh, si perempuan pucat, dan si balita. Bapak-bapak berbaju lusuh masih berada di tempatnya, menjulurkan badannya dan dengan jari-jarinya mengambil kertas pink bergambar mainan yang terjatuh dari plastik mobil-mobilan super besar. Diberikannya kertas pink itu pada si anak balita yang tertawa senang. Senang mendapat mainan baru.
***
“Aku juga cinta hidupku.” Ujar si perempuan pucat.
***
Written by Dewatra Wulan
-November 13th 2009-

3 comments:

The Home of English Language Teaching said...

kmu waktu kecil sering main di sungai..??
ngapain..??

anyway..
keep on writing ho oh..
n_n

The Home of English Language Teaching said...

kmu suka main di sungai..??
main ap..??

anyway..
keep on writing ho oh..
n_n

Wulandari Putri said...

Hehe.. Iy, ikut2an tetangga..
Thx eyescream.. ^^